BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Rabu, 27 Juli 2011

14. Jungle Pimpernel 3 (Revisi)

jungle pimpernel2 Anthony van Kampen yang pertama kali ke pegunungan tengah Nieuw Guinea Belanda bukan hanya sangat terkesan  dengan apa yang dia alami, terutama kedahsyatan dan keindahan alam daerah itu. Dia juga mengalami kejutan budaya ketika berjumpa dan berkenalan dengan penduduk Ekari.

Kedahsyatan Pemandangan Alam

Sesudah bangun dari tidurnya pada pagi pertama, dia terpesona dengan pemandangan alam di sekitarnya dan suasana hati yang dibentuknya. Pemandangan alam itu begitu menakjubkan sehingga dia merasa menemukan kembali “firdaus yang hilang”.  Firdaus itu berisi ketenangan, kedamaian, dan kesuburan tanah.

Lembah Danau Paniai terletak pada ketinggian 1.740 meter di atas permukaan laut. Pada waktu itu, nyamuk malaria tidak bisa hidup pada ketinggian ini. (Masa kini, pemanasan global yang mengganggu pola cuaca dan iklim mengakibatkan kawasan setinggi ini menunjukkan suhu yang meningkat dan mengakibatkan nyamuk malaria bisa hidup di situ.)

kapauku papuans1

Judul sampul depan buku tulisan Leopold Pospisil (1958)

Di belakang lembah tempat dia menginap tampak Deijay, gunung terbesar yang mengelilingi Danau-Danau Wissel. Tapi gunung itu ditakuti orang-orang Ekari; mereka membicarakannya dengan rasa hormat. Menurut kepercayaan orang Ekari, Deijay berhubungan dengan setan-setan, dengan suatu kuasa ilahi, dengan Dewa.

Tapi kekaguman van Kampen pada keindahan pemandangan alam di lembah itu, menurut Jungle Pimpernel, bersifat semu. Apa yang sangat dikagumi van Kampen sebagai suatu firdaus akan berubah kalau dia tinggal lebih lama di Paniai. Ada kejadian-kejadian di situ yang tidak lagi berhubungan dengan firdaus itu.

Pesona kedahsyatan alam Nieuw Guinea Belanda, seperti yang disaksikan van Kampen dari Catalina ketika terbang di atas Pegunungan Tengah yang belum dipetakan waktu itu, cenderung diperikan secara puitis. Sebelum pesawat terbang itu mendarat di Paniai, dia untuk pertama kali menyaksikan “tanah Papoea” dari udara, tanah yang tampak seperti adanya pada hari pertama penciptaan Bumi oleh Allah.

Matahari berputar menembus lapisan kabut paling atas dan bersinar di atas bumi. Pada saat yang sama dunia mewarnai dirinya dengan warna merah tua, lembayung, dan ungu. Itu suatu pemandangan yang tak terlupakan dan sangat menggugah perasaan. Inilah bumi yang buas, buas dan kosong seperti pada hari penciptaan pertama. Buas dan kosong dan liar. Bukit batu, batu keras, dan ngarai. Bumi, dalam bentuknya yang paling kering, dalam keadaan sebagaimana sang Pencipta segala sesuatu menjadikannya pada waktu Dia memisahkan air dari materi padat” (halaman 98).

Dan barangkali keadaannya memang demikian supaya Pencipta Agung dari alam semesta sesudah menciptakan Bumi masih memiliki sisa bukit batu, batu keras, dan alam liar yang Dia  hamburkan di pojok belakang Dunia yang baru saja diciptakan. Dan itulah Nieuw Guinea”  (98).

Nieuw Guinea, seperti yang dipersepsi van Kampen dari udara, adalah suatu “kerajaan gunung dan hutan rimba, kerajaan zaman batu, dunia yang hilang. Ya, demikianlah keadaan semuanya pada hari pertama penciptaan. Demikianlah dunia Nieuw Guinea pada hari Allah menciptakannya. Demikian megah, demikian dahsyat, demikian hebat bentuk dan ukurannya. Tidak satu pun di tanah ini manusiawi. Di dalam semuanya, Anda mengenal tangan Allah, Penciptaan dan Kekekalan” (100).

Kejutan Budaya

Perkenalan lebih jauh yang memberikan kejutan budaya kepada Anthony van Kampen terjadi di rumah Pendeta Kenneth Troutman. Di situ dia berkenalan dengan empat orang lelaki Ekari yang memakai koteka. Troutman seorang misionaris Protestan asal AS yang bekerja untuk CAMA (Christian and Missionary Alliance), suatu badan penginjilan asal AS yang menginjil di kawasan Pegunungan Tengah Nieuw Guinea Belanda menjelang PD II. Dia kenal baik Dr. J.V. de Bruyn. Troutman hidup dan bekerja sebagai seorang misionaris Protestan di antara suku Ekari, sangat dihormati penduduk setempat.  Dia mengundang de Bruyn, Mieke, van Kampen, Komandan Catalina dan koleganya ke rumahnya dan menjamu mereka. Mereka kemudian bermalam di rumah sang pendeta. Kejutan budaya akan dialami van Kampen sesudah jamuan itu.

Sambil duduk di sebuah kursi, dia memberikan sebatang rokok merek Virginia kepada seorang lelaki Ekari yang duduk paling dekat dengan dia. Di luar dugaan, lelaki itu menerima rokok itu, mematahkannya menjadi dua bagian, memasukkan salah satu bagian langsung ke dalam mulutnya, mengunyahnya bersama dengan kertas pembungkus rokok itu, dan menusukkan bagian lain menembus lubang salah satu daun telinganya – suatu hiasan yang baru dan unik! Lelaki itu yang barangkali belum pernah melihat rokok Virginia pasti mengira batang rokok  itu bisa dimakan dan dijadikan hiasan daun telinga yang dilubangi.

kapauku papuans2 Beberapa orang lelaki Kapauku, sekarang disebut suku Me, dengan seorang lelaki memikul seekor babi yang baru saja dibunuh.

Van Kampen kemudian belajar cara bersalaman unik suku Ekari dari lelaki yang menerima tawaran rokok dari dia. Mereka berdiri saling berhadapan dengan saling mengepalkan tangan; tangan yang dikepal kemudian dijulurkan agar bisa saling bersentuhan. Lelaki Ekari itu lalu merenggangkan sedikit jari telunjuk dan jari tengahnya lalu menjepit jari tengah van Kampen, dan menariknya tiga kali ke kiri dan ke kanan sehingga menghasilkan suatu bunyi “klik” – suatu tanda persahabatan antara mereka berdua. Sambutan ketiga lelaki Ekari yang lain? “Yang lain secara bersemangat mengetok-ngetok koteka mereka” ( 113). Komentar van Kampen tentang perilaku persahabatan orang Ekari, “… saya tahu bahwa pada saat itu saya sudah mendapat sahabat-sahabat pertamaku di antara orang-orang Ekari di Danau Paniai” (113).

Pada saat itu juga, dia makin menyadari dia berada di “salah satu kawasan paling aneh di dunia” (113). Penduduknya belum pernah berhubungan dengan bangsa-bangsa lain, tinggal terpisah, dan menjalani hidupnya.

Semakin lama bergaul dengan orang Ekari semakin bertambah kejutan budaya yang dialami van Kampen. Dari “kawasan paling aneh”, dia melangkah makin jauh ke dalam kehidupan yang “ajaib sekali” dari orang Ekari. Katanya, ajaib sekali kehidupan di daerah kediaman suku Ekari. Setiap saat dan setiap hari, dia berhadapan dengan “penemuan-penemuan yang baru” (117). Dia menyadari berada dalam suatu dunia yang terkebelakang selama banyak abad dari peradaban Barat abad ke-20, “tetapi kejutan-kejutan yang saya terima begitu berat sehingga saya sering harus mengingatnya” (117).

Kejutan-kejutan budaya lain apakah yang dia terima dan ingat? Pada dasarnya, kejutan-kejutan itu berasal dari perbedaan-perbedaan khas atau unik antara peradaban Barat dan kebudayaan material dan spiritual suku Ekari, termasuk kecenderungan psikologis, pandangan-dunia, tradisi, dan perilaku budaya mereka. Mereka juga mendeita berbagai penyakit dan rentan terhadap penyakit dari luar daerahnya.

Van Kampen mengamati bahwa penduduk Ekari sangat emosional. Berkali-kali, dia menyaksikan orang Ekari yang bertemu kembali Kontrolir de Bruyn begitu gembira sehingga mereka benar-benar menangis. Ekspresi dari kecenderungan psikologis ini menunjukkan bahwa mereka orang yang “polos” atau tulus hati.

Wanita dan lelaki tinggal terpisah. Wanita tinggal di rumah wanita dan lelaki di rumah lelaki. Sampai batas usia tertentu, anak-anak tinggal bersama ibunya. Wanita yang tampak sibuk bekerja atau berjalan ke suatu tempat menyompoh (pada jidatnya) tali pegangan kantong tradisional yang disebut noken atau nokeng. Nokeng itu berisi ubi jalar, barangkali garam, gigi babi, kerang kauri sebagai mata uang tradisional orang Ekari, dan bayi.

kapauku papuans3 Beberapa orang wanita Kapauku dan anak-anaknya, menyompoh nokeng.

Van Kampen mengamati juga kebiasaan berduka yang tidak dia temukan di Belanda dari suku Ekari. Seorang wanita Ekari yang kehilangan anaknya menandakan kedukaannya dengan memotong salah satu jarinya atau lebih dari itu!  Dia menyaksikan lelaki dewasa yang tulang rawan hidungnya berlubang karena dibor dan memahami fungsi koteka, busana tradisional kaum lelaki Ekari.

Sekalipun suku Ekari masih hidup dalam Zaman Batu dan belum secara massal menjadi penganut Kristen, mereka punya moral pernikahan yang keras. Pernikahan bagi mereka adalah keramat. Karena itu, siapa pun yang diketahui melakukan perzinahan dikenakan hukuman berat, terkadang berbentuk hukuman mati: mereka yang terbukti melakukan perzinahan, lelaki atau wanita, dipanah sampai mati.

Sebagai orang Papua gunung, orang Ekari bukan pengembara. Tapi mereka suka bepergian selama berbulan-bulan. Biasanya, para lelaki dewasa yang melakukan perjalanan macam ini.

Dalam perjalanan itu, mereka menunjukkan rasa takut akan Mado. Dia dipercaya adalah setan putih berbadan besar, berambut panjang dan uban, dan berumah di air. Ketika pulang ke rumah dari perjalanannya, lelaki Ekari membawa pulang cangkang kerang kauri, mata uang bernilai tinggi bagi mereka.

Kehidupan sehari-hari suku Ekari sederhana. Makanan pokoknya adalah ubi jalar, ditambah buah-buah dari kebun pisang. Baik ubi jalar maupun buah pisang itu biasanya mereka bakar. Mereka juga makan tebu dan talas.

kapauku papuans4 Buah-buahan dan sayur-sayuran tertentu hasil perkebunan orang Kapauku

Sayur dan masakan lain mereka panaskan dalam lubang yang mereka gali ke dalam tanah. Lubang itu mereka isi dengan batu-batu berukuran tertentu. Dengan kayu bakar dan arang yang menyala, batu-batu itu mereka panaskan sampai tampak merah keputih-putihan. Sayur dan masakan itu lalu mereka letakkan di atas batu-batu yang sangat panas itu dan menutupnya dengan dedaunan tertentu. Sesudah waktu tertentu, daun-daun penutup itu dibuka dan masakan mereka sudah siap untuk dimakan.

Menu mereka jarang mencakup makanan hewani, kecuali jenis udang tertentu yang hidup di danau. Mereka memelihara babi hutan sebagai harta kekayaannya; karena itu, daging babi jarang mereka makan.

Babi bahkan adalah harta paling berharga suku Ekari. Semua pertikaian dan perang di antara mereka pada dasarnya dimulai dengan seekor babi. Babi itu entah dibunuh, dicuri, dipanah tanpa sengaja, entah lenyap.

Ada berbagai hewan liar yang menarik perhatian van Kampen. Itu mencakup kanguru kerdil, berbagai jenis hewan berkantung, kasuari, dan berbagai jenis burung, terutama burung cenderawasih, parkit, kakatua, dan nuri. Tapi dia bingung tentang kontradiksi alami pada burung cenderawasih. Ia indah tapi teriakannya buruk – suatu pertentangan dalam ciptaan.

Hewan-hewan lebih kecil pun ada. Termasuk tikus, semut, dan anjing yang tidak bisa menyalak. (Bersambung)

Jumat, 15 Juli 2011

13. Trilogi Jungle Pimpernel 2

jungle pimpernel2
Umumnya, pemerintah Belanda – disebut “orang-orang Kumpeni” oleh penduduk pedalaman waktu itu – di NG melakukan perjalanan ke dalam hutan rimba NG untuk salah satu dari tiga tujuan berikut. Untuk turne normal, perkenalan, atau ekspedisi hukuman atau patroli hukuman.

Ekspedisi Jan ter Poorten

Buku karya van Kampen diawali kisah ekspedisi Jan ter Poorten, seorang Kontrolir Pemerintahan Dalam Negeri di Nieuw Guinea Belanda dan rombongannya, di kawasan Digul yang dicapai pada hari kesembilan. Tujuan ekspedisi: untuk menegakkan wibawa pemerintah Belanda dengan menangkap serta mengadili para pengayau (head hunters) Papua di kawasan Mappi yang sudah membunuh beberapa orang dari suku Jahir.

Mendekati kawasan Mappi, rombongan ter Poorten bertambah dengan masuknya beberapa puluh orang lelaki suku Jahir. Mereka akan ikut mengepung para pengayau dari Mappi.

Rombongan itu mencakup beberapa orang Papua sebagai pemikul barang. Ekspedisi dengan berjalan kaki itu menempuh medan yang berat – gunung, rawa, hutan lebat, hujan yang bisa berlangsung berminggu-minggu; serangan nyamuk malaria yang mengakibatkan ter Poorten merasa pening, meminum tablet kinine dan mepacrine, dan tidur dalam kelambu di bivak (suatu pondok sementara) di hutan rimba; dan cuaca dingin yang mengharuskan rombongan ter Poorten harus makan nasi hangat dengan berbagai lauk-pauk, termasuk daging biawak yang dipanggang, serta minum kopi hangat; tapi orang Papua hanya makan sagu. Rombongan itu mencakup juga Gonda, seorang anggota polisi asal Ambon, dan dua orang asal Menado.

Kedekatan orang Belanda pada orang Ambon

Kedekatan orang Ambon pada orang Belanda ibarat dua sisi dari mata uang yang sama. Demi kepentingan bersama (mata uang itu), orang Ambon membutuhkan orang Belanda sama seperti orang Belanda membutuhkan orang Ambon (dua sisi dari mata uang itu). Lebih lagi, kebutuhan timbal-balik mereka saling mengisi dan melengkapi secara pas, mirip permainan jigsaw puzzle.

Van Kampen menyadari hubungan timbal-balik macam itu pada diri Gonda. Begini pemeriannya tentang Gonda. Dia sudah menjelajahi hutan-hutan Nieuw Guinea selama 20 tahun dan, karena itu, sudah mengembangkan naluri mara bahaya dan menghindarinya. Pengetahuan ini berguna bagi keberhasilan ekspedisi yang dipimpin Jan ter Poorten, majikannya. Tidak itu saja. Gonda juga seorang “kompas hidup” di hutan rimba NG. Lanjut van Kampen, Gonda sangat dibutuhkan dan sangat diandalkan, sangat setia kepada pemerintah Belanda dan pada mereka yang menjalankannya.

Dalam bab 11, van Kampen memberi pujian lain kepada Gonda, seorang Ambon yang hebat. Dia suatu cerminan dari kesetiaan orang-orang Ambon pada Belanda, suatu sikap mental yang mengakibatkan mereka unggul di atas ras-ras lain di Hindia Belanda. Orang-orang Ambon “boleh merasa ditinggikan di atas semua ras lain di kepulauan itu, mereka sangat setia. Di hutan, Anda tidak menginginkan kawan yang lebih baik, itu diakui setiap orang pegawai dalam negeri ….”

Alasan ter Poorten bekerja di NGB

Tapi Nieuw Guinea Belanda bukanlah suatu kawasan ideal bagi kebanyakan orang Belanda yang tinggal dan bekerja di Hindia Belanda. Lalu, mengapa Jan ter Poorten mau tinggal dan bekerja di kawasan itu?

Dia seorang idealis. Sejak HBS (Hogere Burger School, semacam SMA atau SMU) di Belanda, dia sudah bermimpi dan berkhayal dan memutuskan untuk bekerja di NGB. Sesudah tamat HBS, dia belajar indologi (ilmu tentang pemerintahan di Hindia Belanda yang mencakup juga pengetahuan antropologi-budaya) di Universitas Leiden, Belanda. Tujuan pertama dia sesudah selesai kuliah adalah Nieuw Guinea.

Tapi mereka di Den Haag, kota administratif pemerintah Belanda, dan Batavia, ibu kota Hindia Belanda, yang berurusan dengan pemerintahan di Hindia Belanda, memandang ter Poorten yang masih sangat muda dan idealis itu sebagai orang aneh. Pengirimannya sebagai seorang pegawai Pemerintahan dalam Negeri (PDN) dinilai terlalu cepat.

Ketika tiba di NG, para amtenar PDN senior yang dia temui tertawa. Mereka memandangnya sebagai seorang bodoh. Dia pasti tidak tahu Nieuw Guinea hanya cocok untuk orang-orang hukuman, cuma baik bagi idealis tanpa otak – kecuali untuk petualang terpelajar seperti Dr. de Bruyn. “Orang-orang normal tinggal sejauh-jauhnya dari Nieuw Guinea” (hal. 22).

Akan tetapi, Jan ter Poorten tidak terbawa cemoohan dan kritik negatif mereka. Dia memang punya cita-cita yang ingin dia wujudkan di NG. Cita-cita yang luhur. “Nieuw Guinea punya kemungkinan-kemungkinan,” dia menalar. “Tapi Nieuw Guinea kekurangan beberapa hal yang di luar tidak bisa diperoleh: cintakasih kepada tanah itu dan pemahaman tentang penduduknya” (hal. 22).

Kedua orang tua ter Poorten meninggal dunia ketika dia berusia delapan tahun. Sejak itu, dia dibesarkan seorang saudara perempuan ayahnya. Bibinya meninggal dunia dua tahun sebelum dia tiba di NG.

Mieke van der Veer

Semasa kuliah, dia berkenalan dan bersahabat dengan Mieke van der Veer, seorang mahasiswi dan teman kuliah indologi seperti dia. Timbullah suatu hubungan persahabatan yang hangat di antara mereka berdua. Di NG, ter Poorten menulis surat-surat yang panjang tentang NG kepada Mieke.

Mieke akhirnya datang ke Nieuw Guinea meskipun dia sebelumnya disarankan agar tidak datang. NG bukan suatu tanah yang cocok untuk seorang wanita Belanda seperti dia; tanah itu hanya cocok untuk lelaki Belanda!

Dia kemudian bekerja di Enarotali sebagai seorang ahli linguistik. Berdasarkan sekitar 10.000 kosakata bahasa suku Ekari yang sudah dihimpun Dr. J.V. de Bruyn, Mieke melanjutkan penelitian bahasa Ekari. Dia berharap hasil penelitiannya akan dipakai untuk pendidikan orang-orang Ekari.

Ekspedisi hukuman Jan ter Poorten ternyata gagal ketika dia dan rombongannya akan menyeberangi suatu kali. Orang-orang Jahir yang tersisa – sebagian sudah melarikan diri karena takut pada orang-orang Mappi – menolak menyeberangi sungai itu karena takut. Mereka percaya ada roh-roh air di dalamnya yang bisa mencelakakannya kalau mereka menyeberangi sungai itu. Ter Poorten dan rombongannya terpaksa kembali ke pos pemerintahan dan rumah mereka di Merauke, ditinggalkan secara diam-diam oleh semua lelaki Papua tersisa yang mengikuti mereka menuju Mappi.

Perjalanan pulang-balik Jan ter Poorten berat sekali. Dalam perjalanan ke Mappi, dia sudah menderita penyakit malaria; ketika melakukan perjalanan kembali, penyakit malaria itu mengakibatkan dia kehilangan kesadaran, siuman dan, sesudah merasa lebih baik, berjalan lagi. Di Merauke, dia mendapat perawatan medis selama tiga bulan.

Pengalaman van Kampen di Merauke dan Mappi

Di Merauke, van Kampen, satu-satunya orang asing yang waktu itu tinggal di pasanggarahan kota kecil itu, berjumpa tiga orang Belanda yang tinggal dan bekerja di sana. Mereka adalah Roodzand, seorang pastor Katolik; van Dijk, seorang dokter pemerintah Belanda; dan Helinga, seorang asisten residen senior yang seharusnya sudah lama pensiun tapi masih tetap bekerja.

Sapaan yang lazim waktu itu bagi seorang pastor Katolik asal Belanda adalah “pater”. Pater Roodzand yang bekerja lebih dari 25 tahun di NG memberi semacam tip tentang ketahanan hidup kepada van Kampen yang muda dan jelas belum berpengalaman di NG. Untuk bertahan hidup di NG, Roodzand mengandalkan tiga hal: iman Kristianinya dan dua karabin, sejenis senapan atau bedil ringan berlaras pendek.

Van Kampen kemudian bertemu dengan Jan ter Poorten dan Mieke van der Meer di Merauke. Mieke yang akan bekerja di Enarotali selama beberapa waktu diangkat menjadi seorang pegawai sementara bidang linguistik. Dalam pertemuan itu, van Kampen setuju untuk ikut rombongan Jan ter Poorten kembali ke kawasan Mappi.

Mappi menjadi suatu resor ketika pemerintah Belanda mendirikan posnya di sana tahun 1934. Beberapa tahun sebelumnya, misi Gereja Katolik sudah bekerja di Mappi tapi tanpa hasil. Tujuan pemerintah dan misi Katolik di Mapi adalah untuk memberi penduduk kawasan itu dasar-dasar peradaban Barat.

Suku Mappi terkenal waktu itu sebagai salah satu suku paling liar di Nieuw Guinea. Mereka pengayau yang tidak mau berurusan dengan pemerintah Belanda dan misi Katolik.

Van Kampen yang mengikuti patroli pimpinan Kontrolir Jan ter Poorten mencakup empat puluh orang Papua dari detasemen polisi Papua di Masin dan Tanah Merah, dua kawasan di NG bagian Selatan. Tapi perjalanan di hutan rimba menantang karena mereka berjalan tanpa memakai kompas.

Sebagai seorang wartawan dan penulis Belanda yang pertama kali mengikuti patroli di hutan rimba NG, van Kampen mengalami kejutan budaya berkali-kali ketika menyaksikan praktek-praktek budaya penduduk Papua yang berbeda dengan yang berlaku di Belanda dan dunia modern lainnya. Di Karemu, suatu kampung suku Mappi yang sudah ditinggalkan, dia menyaksikan untuk pertama kali ramok, tradisi menggantungkan pada tali tengkorak-tengkorak musuh yang sudah dipenggal kepalanya pada sepotong tali yang diayun-ayunkan dalam pesta pengayauan mereka. Dia tidak menyukai “kultus barbar” (hal. 73) ini. Di kampung Ararai Sungai Cook, ter Poorten dan rombongannya menemukan dua belas kepala manusia yang baru saja ditebas; kepala itu dipotong dengan pisau bambu sesudah korban dibunuh dengan anak panah. “Realitas berdarah” itu mengejutkan van Kampen yang sudah mengikuti ekspedisi hukuman ter Poorten selama beberapa hari.

Kendati kejutan budaya yang dialaminya, van Kampen memahami alasan di balik “kultus berdarah” suku Wairu dari kawasan Mappi. Pengayauan yang mereka lakukan bertujuan untuk mencari daya hidup di kepala orang yang lehernya ditebas, daya hidup yang ingin mereka kuasai (hal. 74).

Setibanya di Merauke dari Tanah Merah, van Kampen menderita malaria dan harus dirawat di balik kelambu selama seminggu.

Info tentang Jungle Pimpernel

Sesudah pulih, van Kampen berencana ke Danau Paniai, danau terbesar di antara ketiga Danau Wissel, dengan menumpang sebuah pesawat terbang Catalina dari Biak. Dari info yang dia dapat di Merauke, penumpang pesawat terbang itu mencakup Residen Pegunungan Tengah NNG; le Roux, seorang pelancung dan penemu; seorang misionaris Kristen; beberapa orang petualangan; Mieke van der Meer; dan barangkali Jungle Pimpernel. Selain awak pesawat terbang itu, beberapa orang pegawai pemerintahan dalam negeri (PDN) ikut untuk menjalankan kembali pemerintahan di Enarotali, kawasan yang mencakup Danau-Danau Wissel, yang didirikan 1939 tapi dimusnahkan selama pendudukan Jepang.

Info Hellinga

Hellinga, pegawai pamong praja itu, memberi info lebih jauh yang menimbulkan kesan khusus tentang kepribadian, pekerjaan, dan pengaruh besar Jungle Pimpernel (JP) di tengah-tengah penduduk Ekari di Enarotali. Orang Papua gunung, kata Hellinga, sangat cinta damai. JP sangat dicintai rakyat Danau Wissel. Dia dipandang tuan besar, majikan, dewa mereka. JP berhasil melakukan apa yang belum pernah dilakukan orang Belanda sebelumnya di NNG: “menjadi orang Papua dengan orang Papua”, hidup sebagai “orang Papua di antara orang Papua” (78). Dia satu-satunya orang Belanda yang tinggal di NG selama pendudukan Jepang, bersembunyi dengan “hidup sebagai orang Papua”, dekat danau-danau itu. Selama tahun-tahun itu, tidak seorang anggota tentara Jepang pun yang menangkap dia. Namanya terjalin di danau-danau itu dan ribuan lelaki dan wanita yang tinggal di situ tidak sekalipun mengkhianati dia kepada tentara Jepang. Dia melakukan pekerjaan yang istimewa bagi Tentara Sekutu dan bahkan pekerjaan yang istimewa sebagai seorang peneliti dan penemu. Demi memperluas dan menegakkan wibawa pemerintah Belanda di Pegunungan Tengah, JP, masih muda dan lajang, melakukan pekerjaan yang berat seorang diri. Apa rahasianya bertahan di kawasan yang demikian terpencil, sepi, di antara orang Papua gunung yang masih primitif? Dia punya idealisme. Tentang hal ini, Hellinga mengatakan pada van Kampen, “Pekerjaan begitu berat sehingga Anda bisa melakukannya sendiri kalau Anda seorang idealis dan bersedia meninggalkan dunia.”

Alasan de Bruyn bekerja di NGB

Sebulan sesudah percakapannya dengan Hellinga, Anthony van Kampen terbang dari Merauke ke Biak. Dia menginap di mes KLM, maskapai penerbangan Belanda, di Biak sambil menunggu kedatangan Catalina yang akan menerbangkan dia dan rombongan lain, termasuk Dr. J.V. de Bruyn, ke lembah Danau-Danau Wissel.

Sementara masih di Belanda, de Bruyn sudah memilih Nieuw Guinea Belanda sebagai lokasi kerjanya di masa depan sebagai seorang pegawai PDN di Hindia Belanda. Tapi pilihannya untuk bekerja di NGB waktu itu dipandang aneh dan tidak normal. Sangat banyak pos pemerintahan yang nyaman tersebar di Jawa, Sumatra, dan Maluku. Kecuali Nieuw Guinea Belanda, suatu kawasan rimba raya yang tidak menyenangkan, dengan banyak nyamuk malaria yang menimbulkan demam, dan suatu kawasan yang menimbulkan rasa sepi.

Tapi Dr. de Bruyn tidak menghiraukan persuasi negatif tadi. Tekadnya untuk tinggal dan bekerja di NGB sudah bulat. Dia seorang idealis yang mau tinggal dan bekerja di antara orang-orang Papua gunung.

Akhirnya, dia, pada usia 25 tahun dan lajang, diangkat menjadi seorang pegawai Pemerintahan Dalam Negeri Belanda di Danau-Danau Wissel, Enarotali. Dia hidup dan bekerja di antara orang-orang Papua gunung yang masih hidup dalam Zaman Batu.

De Bruyn memenangkan rasa percaya penduduk

De Bruyn memenangkan rasa percaya yang besar dari penduduk padanya. Mereka segera memandangnya sebagai seorang sahabat dan penasehat. Dia sangat teguh memegang prinsip; dia tidak pernah berbohong kepada seorang Papua gunung. Sebagai akibatnya, orang Papua gunung tidak pernah berbohong padanya. Ketika pecah Perang Dunia II dan tentara Jepang memasuki Enarotali, mereka mencoba selama bertahun-tahun menangkap de Bruyn, berdinas pada Tentara Sekutu di Australia dengan melakukan pekerjaan intelijens. Ribuan lelaki dan wanita Papua gunung yang hidupnya sangat terkebelakang dibanding peradaban Eropa tidak sekalipun mengkhianati teman putihnya yang besar, yang mereka sebut Kontolule. Berkali-kali, mereka punya kesempatan memperoleh bayaran tinggi kalau mereka bisa menyerahkan de Bruyn kepada tentara Jepang, tapi mereka tidak menerima tawaran itu.

de bruijn
Sang Jungle Pimpernel, Dr. J.V. de Bruyn


Evakuasi

Pada Maret 1942, de Bruyn mengirimkan suatu berita melalui pengirim radio portabelnya ke Australia. Dia berkali-kali meminta pengiriman sebuah pesawat terbang untuk mengungsikan sekelompok kecil orang Belanda dan dua orang misionaris Amerika Serikat. Seluruh pesisir Nieuw Guinea Belanda sudah di bawah kekuasaan tentara Jepang, kecuali Merauke. De Bruyn sendiri memutuskan untuk melakukan kegiatan intelijens untuk Tentara Sekutu di Australia. Artinya, dia harus hidup di tengah orang Ekari, menjadi orang Papua gunung. Akhirnya, dia punya ribuan lelaki Papua di sekitarnya yang menyebutnya sahabat mereka.

Berita yang dikirimkan melalui radio ternyata ditanggapi. Sebuah pesawat terbang Catalina tua bernomor kode Y 45 mendarat di Danau Paniai. Pesawat itu lalu mengangkut rombongan pengungsi Belanda dan AS ke Australia.

Perlawanan terhadap tentara Jepang

Tiga hari kemudian, tentara Jepang mencapai Danau-Danau Wissel. De  Bruyn dan pasukan kecilnya sudah lenyap di hutan rimba. Dia memilih tiga puluh orang Ekari yang setia mengikutinya. Pada fase terakhir PD II, dia – kecuali beberapa orang teman Belanda – punya delapan sukarelawan yang mengelilinginya. Ada Gout, seorang anak Indonesia; Berger, seorang Belanda asal Limburg; Toumahu, seorang Ambon; Lambert Nuruwe, seorang Seram; Bao, seorang Timor berusia lima belas tahun, seorang hukuman yang diberi pengampunan oleh de Bruyn; Kota Dinny, seorang polisi Ambon; Kaburuan, seorang polisi Menado; dan Habel Honggulyan, seorang polisi Papua dari Fakfak. Para lelaki ini membentuk kelompok intelijens Oaktree dan Crayfish.

Ketika dikejar-kejar Jepang, dia mengambil keputusan untuk menjadi orang Papua gunung. Ketika pekerjaan luar biasa dia di pedalaman menjadi terkenal, dia dijuluki Jungle Pimpernel.

Kesetiaan orang Papua gunung

Dia berangkat ke arah Timur dan tidak pernah dilihat lagi, ditemani beberapa orang Papua gunung dan pemandu serta “kakak lelaki” dia, Soalekigi, waktu itu berusia 50 tahun. Dia dari suku Moni, kepala kampung Idodah, Aligame (Teman) de Bruyn; Soalekigi baik, kuat, setia, jujur, dan sangat cerdas.

Dalam kehidupan itu, de Bruyn  menyaksikan kehidupan orang sebagaimana mereka hidup dalam Zaman Batu. Selama tahun-tahun itu, dia belajar mencintai penduduk gunung. Dia tidak melihat mereka sebagai penduduk primitif; dia melihat mereka sebagai manusia. Mereka pun mencintainya sebagai seorang saudara mereka, bahkan berani berkorban untuk membelanya, termasuk tidak mengkhianati dia kepada tentara Jepang sekalipun peluang itu ada.

“Orang-orang Jepang datang ke danau-danau itu dan bertanya kepada penduduk Ekari: ‘Katakan kepada kami di mana lelaki kulit putih itu.’ Mereka memandang prajurit-prajurit kuning itu dan mengatakan, ‘Kontolule pergi dan kami tidak tahu ke mana. Tidak … kami tidak tahu. Cari sendiri!” (hal.22)

Tentara Jepang mengancam mereka tapi itu sia-sia. Mereka tidak tahu ke mana Kontolule pergi, katanya terus-menerus. Tidak satu pun dari mereka yang hidup di Zaman Batu itu mengkhianati de Bruyn.

Jungle Pimpernel adalah seorang pejuang bagi Tentara Sekutu, pejalan rimba, petualang, mata-mata, idealis, sarjana. Tapi tanpa bantuan teman-teman Ekari, dia tidak akan mencapai apa pun dan rugi. Selain itu, dukungan NEFIS memampukan dia bertahan hidup di hutan rimba bersama orang Papua gunung.

Van Kampen Terbang ke Enarotali

Sesudah mempersiapkan pembaca dengan latar belakang perjuangan de Bruyn bersama tentara kecilnya dan hubungan saling percaya dan mendukung antara dia dan orang Papua gunung, Anthony van Kampen kembali pada rencananya terbang ke Enarotali. Akhirnya, dia menumpang Catalina yang terbang dari Biak ke Danau-Danau Wissel. Untuk pertama kali, dia bertemu Dr. Victor de Bruyn dalam penerbangan itu; selain itu, dia berjumpa dengan Mieke van der Veer.
Akhirnya, Catalina mendarat di Danau Paniai. JP berhasil memanggil orang Ekari dalam bahasa daerah mereka untuk datang ke pesawat terbang.
JP dan rombongan yang akan mendarat dijemput dengan perahu-perahu Ekari. Van Kampen dan Mieke van der Meer ikut ke darat. JP disambut dengan hangat oleh suku Ekari. Ini kali pertama sesudah PD II dia berjumpa kembali dengan sahabat-sahabatnya, orang Papua gunung.
(Bersambung)