BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Jumat, 25 Maret 2011

8. Berkenalan dengan Orang Papua dari Waropen

papuas of waropen book Judul: The Papuas of Waropen

Penulis: Prof. Dr. G. J. Held

Penerbit: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde Translation Series 2

Tempat, penerbitan, tahun: The Hague: Martinus Nijhoff 1957

Non-fiksi: 407 halaman

Isi: prawacana editorial, prawacana, pengantar, delapan bab, glosari, daftar foto (77 lembar), daftar gambar (32 lembar), singkatan, dan indeks

Kategori: ANTROPOLOGI-BUDAYA

***

Catatanku: Edisi bahasa Inggris ini berdasarkan edisi aslinya dalam bahasa Belanda, Papoea’s van Waropen. Resensi kali ini akan diawali ringkasan prawacana dan pengantar  oleh Prof. Dr. G. J. Held, sebagai info latar belakang. Dalam suatu tulisan berikut, saya akan memuat resensi buku ini. (CA)

Prawacana

Papoea’s van Waropen diterbitkan pertama kali di Belanda tahun 1947, berdasarkan suatu naskah yang diselesaikan tahun 1942. Naskah ini kemudian diterbitkan sebagai suatu monograf (risalah, karangan ilmiah) berdasarkan suatu hasil penelitian lapangan dalam antropologi-budaya tentang suku Waropen di suatu kawasan pesisir di Teluk Geelvink (sekarang Teluk Cenderawasih) oleh Dr. G. J. Held. Sesudah dia meninggal dunia 1955, monograf itu diterbitkan dalam bahasa Inggris, suatu terbitan yang bermanfaat bagi para ahli antropologi-budaya dan pembaca-pembaca lain yang berminat.

Penelitian Held tentang suku Waropen dilakukan atas perintah Perhimpunan Alkitab Belanda di Amsterdam. Lembaga ini berada di bawah Perhimpunan Penginjilan Utrecht, Belanda. Held kemudian pindah menjadi seorang pegawai permerintah Belanda tapi dia terus melanjutkan pekerjaannya menyangkut bahan-bahan antropologis yang sudah dia kumpulkan dari suku Waropen.

Di dalam The Papuas of Waropen, Prof. Dr. G. J. Held mencoba membahas dua hal pokok: suatu sampel representatif tentang kebudayaan Waropen, seperti fungsinya ketika diamati, dan  suatu perspektif dalam pemerian kebudayaan ini. Dia memperoleh perspektif itu dengan mencari kecenderungan-kecenderungan sejarah yang menolong menetapkan perkembangan kebudayaan. Untuk membahas kedua hal itu, dia berasumsi bahwa suatu hubungan fungsional yang ada di dalam suatu kebudayaan kapan pun dalam perjalanan sejarahnya ditetapkan juga oleh suatu arah tertentu. Suatu kebudayaan, lanjut Held, tidak hanya terdiri dari sejumlah unsur budaya yang secara fungsional terhubungkan pada suatu saat tertentu tapi juga mengalami pegeseran di dalamnya, yaitu, perubahan dalam pengelompokan unsur-unsur budaya itu sendiri. Pergeseran di dalam kebudayaan ini tidak serampangan atau sembarangan tapi ditetapkan oleh sebab-sebab tertentu, sebab-sebab yang cocok dengan kecenderungan-kecenderungan tertentu. Held sudah mencoba menemukan akibat-akibat dari beberapa sebab ini dan arah beberapa kecenderungan ini. Penjelasannya menunjukkan metodenya dalam penelitian kebudayaan.

Dengan memakai metode ini, Prof. Dr. G. j. Held membatasi penelitiannya pada suatu pemerian (deskripsi)  tentang kebudayaan suku Waropen yang belum Kristen. Pemeriannya mencakup masalah-masalah yang timbul ketika suatu peradaban sudah membuka diri kepada zaman modern. “Sejarah kontemporer tahun 1940 bagi banyak orang Papua masa kini adalah akhir dari pra-sejarahnya,” katanya.

Menurut Held, kebudayaan Waropen tahun 1940-an yang dia perikan tidak benar-benar “primitif”. Tujuan penelitiannya hanyalah untuk membuat suatu pemerian tentang suatu bentuk peradaban manusia yang kurang rumit, yang tidak banyak bedanya dengan kebudayaan manusia lainnya di mana pun di dunia.

Pengantar

Held mulai pengantar bukunya dengan memberikan suatu indikasi ringkasan tentang tiga provinsi kebudayaan di Teluk Geelvink. Dia lalu mendefinisikan kawasan Waropen secara geografik.

Lingkungan budaya

Ada tiga provinsi kebudayaan yang oleh Held disebut “tiga pusat pemancaran kebudayaan” di Teluk Geelvink. Pertama, kebudayaan kelompok Biak-Numfor. Kelompok in terentang dari ujung Barat-laut paling jauh dekat Manokwari (Mansinam dan Teluk Dore) ke pulau Numfor dan Biak sampai ke pulau Rumberpon dan sebagian pulau Roon di Selatan Teluk Geelvink. Kedua, kebudayaan kelompok Wandamen-Windesi (kini Wondama-Windesi) yang terdapat di Barat-daya Teluk Geelvink. Ketiga, kebudayaan kelompok Waropen mencakup pemukiman suku Waropen di bagian paling selatan dari Teluk Geelvink, yaitu, di pedalaman bagian teluk itu, dekat kepulauan Haarlem dan Moor (punya bahasanya sendiri); ketiga pemukiman Waropen Kai (Napan, Weinami, dan Makimi) di pesisir Timur Teluk Geelvink; dan pada beberapa kampung yang besar di pulau Nau.

Tapi Held sulit menetapkan posisi penduduk pulau besar Yapen, terletak di utara Waropen,  dalam hubungan dengan ketiga pusat penyebaran kebudayaan di Teluk Geelvink. Yapen sudah mengalami pengaruh ketiga pusat penyebaran kebudayaan ini. Bagian utara dipengaruhi oleh kelompok kebudayaan Biak-Numfor, bagian barat-daya oleh kelompok kebudayaan Wandamen-Windesi, sementara pesisir Selatan dengan Serui dan Ambai sebagai pusatnya punya suatu hubungan yang ramai dengan pesisir Waropen, dan, sebagai akibatnya, penduduk kedua pusat itu saling memengaruhi. Meskipun demikian, bahasa yang dipakai di Yapen yang berbeda sekali dengan bahasa-bahasa yang dipakai pada ketiga daerah kebudayaan itu tidak berarti penduduk Yapen terbagi-bagi ke dalam ketiga daerah kebudayaan itu. Ada sekurang-kurangnya sepuluh bahasa atau dialek yang berbeda-beda yang dipakai di pulau Yapen. Jadi, untuk sementara, Held menyisakan suatu kelompok kebudayaan Yapen.

Suku-suku di pedalaman yang tinggal sepanjang Teluk Geelvink sejauh yang diamati Held belum dipengaruhi ketiga pusat pemancaran kebudayaan yang sudah dijelaskan. Mereka tinggal, misalnya, di pedalaman Waropen dan Biak-Numfor dan  memakai bahasa-bahasanya sendiri.

Pengetahuan Dr. Held tentang penduduk pedalaman terbatas. Ini mengakibatkan dia tidak mampu menetapkan hubungan antara penduduk pesisir dan pedalaman di Waropen. Meskipun demikian, dia mengatakan penduduk pesisir lebih menyebarkan kebudayaannya ke penduduk pedalaman..

Dari sudut-pandang kebudayaan, kelompok-kelompok kebudayaan pesisir di Teluk Geelvink yang sudah dijelaskan menunjukkan banyak titik persamaan. Karena itu, Teluk Geelvink yang dihuni penduduk pesisir ini bisa dikatakan membentuk satu daerah kebudayaan, yang di dalamnya setiap kelompok kebudayaan pesisir bisa dibedakan menjadi suatu provinsi kebudayaan yang terpisah. Tapi Held belum bisa memastikan apakah pulau Yapen bisa disebut sebagai provinsi kebudayaan yang keempat.

Di Teluk Geelvink, Held menemukan tidak hanya kesatuan tapi juga keanekaragaman di antara penduduk pesisir. Misalnya, kebudayaan material penduduk ketiga provinsi kebudayaan itu (seperti pakaian, perumahan, senjata, dekorasi, dan pembuatan perahu besar) menunjukkan persamaan yang menonjol. Tapi sewaktu-waktu ada juga perbedaan, misalnya, dalam sistem perkawinan. Kelompok kebudayaan Waropen Kai mempratekkan suatu sistem pernikahan yang cocok dengan suatu sistem klen yang bersirkulasi. Sementara itu, kedua kelompok pesisir yang lain mengenal mengenal eksogami (perkawinan di luar suatu kelompok sosial) dari hubungan darah; akan tetapi ini masih dihubungkan dengan eksogami kelompok.

Apakah kebudayaan Waropen tergolong pada kebudayaan Melanesia atau Indonesia? Data yang tidak memadai yang dimiliki Held menyulitkan dia menetapkan apakah kebudayaan Waropen adalah kebudayaan Melanesia atau Indonesia.

Lingkungan geografik Waropen

Kawasan Waropen pada waktu Held mengadakan penelitiannya mencakup Ambumi di Teluk Wondama; kampung Makimi, Napan, dan Weinami di daratan yang berhadapan dengan Kepulauan Haarlem dan Moor; dan kampung Waren, Sangge, Paradoi, Mambui, Nubuai, Woinui, Risei-Saiati, Wonti, dan Sasera ke arah Utara Makimi, Napan, dan Weinami. Di Timur Wonti, pernah ada kampung bernama Demba, didirikan sebagai sebuah pos polisi pemerintah Belanda pada tahun 1939 tapi kemudian ditinggalkan.

Nama Waropen dipakai juga sebagai suatu pembagian administratif pemerintah Belanda. Tapi luas Waropen secara administratif tidak sama dengan luasnya sebagai suatu kawasan suku-suku pesisir. Ia mencakup Serui dan kawasan pedalaman tapi lebih sempit dari kawasan suku-suku Waropen karena kampung Makimi, Napan, Weinami, dan Ambumi secara administratif tergolong pada sub-divisi Manokwari.

Dalam pembahasan selanjutnya, Dr. G. J. Held mengacu pada Waropen sebagai penduduk pesisir yang tinggal di kampung-kampung yang sudah disebutkan. Terkadang, dia memakai nama Waropen Kai untuk mengacu pada kawasan di Timur Sungai Wapoga dan Napan untuk kawasan di Barat sungai tadi.

Penduduk Waropen tinggal di kawasan hutan berbakau atau kawasan dengan hutan yang mengalami pasang-surut air. Ini mengherankan karena penduduk pesisir lain lebih suka tinggal di pantai berpasir. Kawasan yang mereka huni sebagai akibatnya tidak memungkinkan mereka mengembangkan pertanian yang sesungguhnya karena tanah hutan pasang-surut itu sangat tidak subur.

Sementara itu, air minum bisa mereka peroleh sesudah bepergian sejauh antara sekitar empat setengah sampai dengan sembilan kilometer dari pantai. Karena jarak yang jauh untuk mengambil air minum, penduduk sering minum tuak dari pohon nipah yang berlimpah-limpah di hutan berbakau sebagai pengganti air tawar.

Karena tuak yang diperoleh dari pohon nipah itu berlimpah-lompah juga, orang-orang yang gemar meminum tuak menjadi mabuk, biasanya di malam hari. Keadaan mabuk lalu menimbulkan kekasaran perilaku mereka yang ketagihan tuak itu. Pengaruh minuman keras itu lalu memberi pembenaran kepada para penginjil dan misionaris Kristen untuk memberantasnya. Kalau air tawar tidak bisa mereka peroleh, mereka ada kalanya minum air sungai.

Sungai yang menimbulkan banjir di kampung-kampung Waropen punya daya tarik khusus bagi penduduknya. Baik dalam mitologi maupun dalam percakapan sehari-hari, banjir itu menjadi suatu pokok pembicaraan yang disertai semangat para pembicara. Penduduk takut akan banjir yang menimbulkan bencana yang, menurut mitologinya, pernah mengakhiri kehidupan di dunia.

Dengan cara ini, air menjadi suatu unsur yang hidup, yang dihuni monster-monster mitikal dan citra-citra kabur dari imajinasi mereka. Air membawa ikan dan udang, mengantar perahu, tapi ia juga menyembunyikan semua jenis rahasia. Boleh dikatakan pembagian kerja, cara hidup, dan cara berpikir orang Waropen sangat dipengaruhi lingkungan hidupnya.

Perbedaan iklim tidak punya pengaruh yang besar terhadap kebudayaan Waropen. Terdapat sedikit pertanian sehingga tidak menimbulkan masalah besar apakah ada hujan atau tidak. Curah hujan tinggi. Hujan memainkan suatu peranan yang penting dalam perburuan budak di masa lampau karena pihak penyerang lebih menyukai serangan dengan berlindung di balik curah hujan yang lebat sehingga tidak tampak dari jarak tertentu oleh pihak yang diserang.

Informasi sejarah

Orang Waropen punya sedikit benda yang memberi kita informasi tentang hubungan sejarahnya. Kapak Papua yang terkenal itu yang di masa lampau dipakai juga sebagai kapak perang terdapat di sini, berpenampang lonjong atau lentikular (bentuknya mirip lensa), tapi sudah langka.

Mereka juga sejak lama memakai pisau untuk berbagai kegunaan di luar rumah, mata anak panah, dan seruit yang dibuat dari logam. Benda-benda itu berasal dari penduduk Biak yang punya keahlian sebagai pandai besi dan menyebarkan keahliannya keliling Teluk Geelvink. Terdapat juga berbagai jenis manik-manik dan porselin kuno (rewanggu), yang bernilai tinggi karena menjadi kurang lebih alat pertukaran seremonial di seluruh Teluk Geelvink.

Held menduga manik-manik dan porselin kuno itu mencapai pesisir Waropen melalui orang Numfor dan Wandamen. Kedua suku ini berperan sebagai penengah dalam penyebaran barang-barang berharga itu.

Pada pulau keramat Nusariwe di sekitar Napan terdapat beberapa gua atau gua besar yang menurut penduduk setempat menjadi tempat tinggal orang selama masa mitikal atau pra-sejarah. Gua-gua itu terletak beberapa kilometer jauhnya dari pantai, tapi suatu penelitian tidak menemukan sesuatu yang khusus.

Data historis tentang Papua langka dan data itu sesungguhnya bercerita lebih banyak tentang gagasan para pelancong dibanding bercerita tentang orang Papua sendiri. Nama Aropen disebutkan pertama kali oleh Jacob Weyland pada tahun 1705; dia mengadakan pelayaran ke Aropen atas perintah Pemerintah Belanda dengan kapal layar Geelvink, Kraanvogel, dan Nova Guinea. Weyland mencapai ujung paling timur dari Yapen pada tanggal 17 Mei 1705 dan melaporkan suatu pemukiman dekat ujung itu di kawasan “Kaaij”. Di kawasan itu, dia mengambil dua orang pribumi; mereka berdua bertemu empat orang penduduk Yapen, musuhnya, yang sudah ada di kapal itu. Keenam orang itu diserahkan di Batavia (kini Jakarta); tiga orang di antaranya dikirim ke Belanda dan dua kembali tahun 1710 dan menerima hak-hak sipil di pulau Banda, Indonesia bagian Timur masa kini. Tapi cerita ini tidak menjelaskan apakah keenam orang itu berasal dari Yapen atau Waropen.

Weyland kemudian mencapai suatu pemukiman yang dia sebut “Erropang” (Aropen) pada 30 Mei 1705. Penduduk pemukiman itu menunjukkan rasa waswas dan takut kepada orang kulit putih atau orang asing di ketiga kapal yang dipimpin Weyland.

Pendapat orang Belanda tentang penduduk Teluk Geelvink sangat tidak menguntungkan mereka. Mereka dipandang “suatu bangsa yang tidak bisa didekati dan tidak bisa mengikuti perintah, sangat liar dan berhati dengki”. Baik lelaki maupun perempuan secara praktis hampir telanjang dan kemaluannya ditutupi daun-daun pohon. Senjata mereka adalah panah dan anak panah, dan parang besi. Rumah-rumah mereka dibuat dari kayu dan didirikan di atas tanah.

Pada tahun 1710, nama penduduk Waropen disebutkan lagi oleh Claasz, seorang Belanda, dalam suatu memorandumnya tentang keadaan pemerintahan Belanda di sana. Claasz memerikan pengaruh Tidore dan menyebutkan juga suatu pemukiman pesisir bernama Roppon, suatu nama yang bisa mengacu pada kampung Ambumi dekat Sungai Woisimi atau pada kawasan dekat Napan. Dalam kemungkinan acuan Roppon pada Ambumi, maka Ambumi dekat Woisimi sudah punya popularitas di Teluk Geelvink seawal-awalnya pada tahun 1710.

Waropen disebut lagi tahun 1871 ketika Van der Crab, seorang Belanda, berlayar di antaranya dari Ansus ke Yapen tempat tampaknya ada perselisihan di Waropen. Ketika mencapai Wasior di Teluk Wandamen, dia menyebut tempat itu Waropen, suatu penamaan yang keliru. Kampung asal-usul suku Waropen, Ambumi, ada dekat Woisimi; kampung itu terkenal karena berbagai tindak kejahatan.

Tahun 1873, pencinta alam A.B. Meyer melakukan suatu perjalanan yang panjang sepanjang pantai Timur Teluk Geelvink. Kawasan ini disebut “Kai” oleh Meyer dan “Aropen” oleh pelancong lain.

Tahun 1879, timbul lagi permusuhan antara orang Yapen dan Waropen. J. van Oldenborg, seorang Belanda yang menjadi kepala distrik, melakukan suatu perjalanan laut ke Waropen untuk mencegah orang “Aropen” mencuri lambang negara Belanda yang dipasang di sana.

Sejak kunjungan Weyland dan rombongannya tahun 1705, suatu kunjungan sesungguhnya dilakukan untuk pertama kali oleh Oldenborg dan seorang perwira militer Belanda, Letnan-Komandan M. E. Medenbach, ke kawasan Waropen. Mereka sesungguhnya melakukan suatu kunjungan eksplorasi ke kampung Wayunami, Painan, dan Making di Napan tahun 1881.

Tahun 1887, kawasan Waropen dikunjungi lagi dengan kapal Java, kali ini oleh A.G. Ellis dan F.S. A. de Clercq. Mereka menemukan dua belas rumah di Makimi dan sebelas rumah di Weinami, kedua kampung yang menjadi batas paling selatan dari kawasan Waropen. Dari arah Selatan ke Utara, pemukiman lain yang dilaporkan kepada de Clerq mencakup Makimi, Wainami, Waren, Sanggei, Woyu, Pareirori, Nuwoai (atau Kai), Risei, Woti, dan Wapori. Pulau Abere di Kurudu pun dikunjungi kedua penjelajah itu.

Distrik Waropen Kai dikunjungi pertama kali oleh F. S. A. de Clercq tahun 1888. Distrik itu mencakup Ambumi, Napan, Weinami, dan Makimi.

Kontak-kontak pertama penduduk Ambumi dekat Woisimi dengan pemerintah Belanda tidak menyenangkan. Tahun 1889, mereka ikut mendapat hukuman yang dikenakan kepada penduduk Teluk Wandamen.

Pada umumnya, suku-suku Waropen dipandang tidak mampu hidup berdamai dengan suku-suku lain. L. A. Oosterzee, kepala distrik pemerintahan permanen Belanda di Nieuw Guinea bagian Utara, mencatat tahun 1899 bahwa penduduk muara Mamberamo menderita serangan-serangan orang Waropen.

Kemudian, kontak dengan suku Waropen berangsur-angsur menjadi makin sering. Pengaruh pemerintah Belanda mulai efektif di Waropen. Para misionaris Belanda selama beberapa dasawarsa di Yaur, Roon, dan Meoswaar seawal-awalnya pada tahun 1867, menurut dugaan Held, mengunjungi juga Waropen yang sudah di bawah pemerintahan Belanda. Tahun 1906, penduduk Ambumi yang mendapat penyiaran Injil beralih menjadi pemeluk Kristen. Sejak itu, mereka mengadakan lebih banyak kontak dengan pemerintah Belanda yang mengangkat kepala-kepala kampung. Kampung Weinami dan Makimi pun memilih agama Kristen; akan tetapi, Held tidak punya cacatan kapan penduduknya menjadi Kristen.

Seluruh kawasan Waropen Kai sudah dikunjungi selama eksplorasi militer Belanda. Kapten Ten Klooster dan Letnan A.L. Doorman sudah membuat peta semua sungai dan anak sungai kawasan pantai antara Wapoga dan Apauwer sehingga tersedia suatu gambaran yang lengkap tentang delta Sungai Mamberamo dan pesisir Waropen yang, waktu itu, berbahaya karena ancaman bajak-bajak laut.

Orang Waropen dikenal agresif. Kisah-kisah mereka berkali-kali menyebutkan ekspedisi yang bersifat menghukum oleh kapal Pioneer. Suatu catatan harian tahun 1913 mengatakan kampung Nubuai dibakar oleh suatu ekspedisi menghukum tahun 1913. Kemudian, pemerintah Belanda mengangkat kepala-kepala kampung pertama orang Waropen tahun 1918. Sekitar 1926, pemerintah Belanda mendirikan pos pemerintahannya di Demba, dikelola seorang kepala pemerintahan, wakilnya, dan sekelompok polisi bersenjata. Pemerintahan ini perlu menegakkan wibawa karena orang Waropen belum seluruhnya menerima perubahan itu. Tahun 1939, pos pemerintahan Demba dihapus dan dipindahkan ke Waren.

Distrik Waropen Kai masih berbahaya selama beberapa tahun sebelum keamanan dan ketertiban pemerintah Belanda ditegakkan. Sesudah kondisi itu ada, agama Kristen masuk, dimulai di Waren. Tahun 1938, Nubuai dan kampung-kampung di sekitarnya berada juga di bawah pengaruh pemerintah Belanda. Sebagai akibatnya, seluruh suku Waropen beralih menjadi pemeluk Kristen.

Peralihan ke agama Kristen ini menjadi batas penelitian antropologis Dr. G. J. Held. Dengan kata lain, penelitiannya dibatasi pada masa pra-Kristen suku Waropen. Tanpa pembatasan ini, Held akan membahas situasi suku Waropen yang menjadi Kristen waktu itu dan, sebagai akibatnya, akan membahas sejarah kontemporer. Pembahasan macam ini akan melibatkan pekerjaan para misionaris Belanda pada suatu ruang lingkup yang sangat besar. Jadi, pertimbangan utama dari pembatasan ini bersifat murni metodikal.

Jumlah dan penampilan lahiriah orang Waropen

Menjelang tahun 1940, seluruh penduduk Waropen tinggal pada lima belas kampung. Di kawasan Waropen, mereka tinggal di sebelas kampung: Sasora, Demba, Wonti, Risei, Saiati, Woinui, Nubuai, Mambui, Paradoi, Sanggei, dan Waropen. Di kawasan Waropen Kai, mereka tinggal di empat kampung: Napan, Weinami, Makimi, dan Ambumi.

Held mencatat dua puluh dua nama fam (klen) yang tinggal pada kesebelas kampung dari seluruh Waropen. Ada klen Fafa, Ghairo, Wanda, Kai, Bunggu, Womorisi, Wainarisi, Imbiri, Daimboa, Apeinawo, Nuwuri, Pedei, Sawaki, Ghopari, Ghama, Tao, Sirami, Watofa, Satia, Sawai, Papirandei, dan Wairoi. Akan tetapi, dia tidak memberikan nama-nama fam yang tinggal di Waropen Kai.

Sensus seluruh penduduk Waropen diadakan dua kali dalam dasawarsa 1930-an. Sensus 1930 menunjukkan bahwa seluruh penduduk Waropen berjumlah 6.678 orang, terdiri dari 3.240 lelaki dan 3.438 wanita. Sensus 1937 mencatat jumlah total penduduk sebanyak 6.173 orang, terdiri dari 3.066 lelaki dan 3.107 wanita.

Ringkasan data statistik itu menunjukaan ada penurunan jumlah penduduk sebesar 505 orang dalam kurun tujuh tahun. Held menduga selisih itu disebabkan kesalahan perhitungan atau jumlah lebih dari 500 orang itu pindah ke luar Waropen.

Tentang penampilan lahiriah orang Waropen, Dr. G. J. Held tidak memerikan hasil penelitian antropologis. Dia hanya memerikan pernyataan-pernyataan yang dangkal.

Kebanyakan orang dewasa punya ukuran tubuh rata-rata. Jarang ditemukan orang bule (albino) dan mereka yang sangat pendek atau sangat tinggi.

Pada umumnya, ukuran tubuh wanita Waropen tidak kecil atau besar. Mereka cukup cantik.

Lelaki lebih tua yang berkumis mencabut sebagian besar kumisnya tapi sewaktu-waktu membiarkan tumbuh seberkas kecil kumisnya di sudut mulut. Wanita menghilangkan bulu rambut di tubuh dari ketiaknya. Anak lelaki yang tengah bertumbuh sering menggerinda ujung gigi bagian atas agar menjadi rata. Baik lelaki maupun wanita melubangi sekat hidung dan telinganya.

Selama masa remaja, gadis-gadis menjalani rajahan di dada, kaki, tangan, dan wajah. Pola rajahan yang dibentuk di tubuhnya diberi warna hitam. Tapi tidak ada pemaknaan dari tanda-tanda rajahan yang dibuat.

Rajahan lelaki tidak semenyolok yang ada pada wanita. Yang diamati Held adalah rajahan lelaki dari namanya pada dada atau tangannya. Sewaktu-waktu, mereka menjalani rajahan di wajahnya. Tanda-tanda rajahan lelaki itu sekadar hiasan pada tubuhnya. Lelaki muda sering menjalani rajahan ketika mereka akan bepergian jauh dengan perahu besar, seperti pergi bekerja di perkebunan atau menuju tempat lain di luar kampungnya.

Wanita muda mempercantik dirinya dengan selalu menyisir rambutnya secara teliti dengan sebuah sisir bambu. Mereka menyebarkan bulu-bulu burung merpati kecil pada rambutnya yang tampak kribo. Wanita muda lain menusuk tangkai bunga kembang sepatu merah di rambutnya. Sewaktu-waktu, mereka membasuh rambutnya dengan jus limau dan menggosoknya dengan minyak kelapa.

Jarang terdapat lelaki dewasa yang botak. Menurut kepercayaan populer, kebotakan lelaki disebabkan kegemaran seksual yang berlebihan. Sebagai akibatnya, sindiran tentang kebotakan bisa menimbulkan rasa tersinggung yang besar dan mudah menjurus pada pertengkaran yang keras.

Meskipun tidak serinci wanita, lelaki muda pun memberi perhatian pada perawatan rambutnya. Kebanyakan lelaki muda berambut pendek.

Orang Waropen Kristen suka penampilan lahiriahnya berbeda dengan yang belum Kristen. Mereka tidak berambut sangat ikal dan tidak memakai sisir bambu. Anak-anak berusia sekolah digunting rambutnya menjadi pendek.

Kebersihan tubuh orang Waropen memuaskan. Orang Kristen Waropen dengan sengaja mandi secara teratur, tapi mereka yang tidak Kristen pun membersihkan tubuhnya dengan air, termasuk air hujan yang deras. Orang Kristen belajar juga mencuci dan menjemur pakaiannya; kebiasaan mencuci pakaian tampak juga di antara banyak keluarga Waropen.

Di masa lampau, pakaian terbatas pada sehelai kulit pisang kering, dibentangkan di antara kedua kaki dan ditahan dengan sepotong tali yang diikat keliling pinggul. Kaum muda Waropen non-Kristen yang diketahui Held memakai kain sarung yang ditahan oleh sabuk kulit keliling pinggulnya. Sarung dipakai juga sebagai selimut ketika mereka tidur atau kedinginan. Orang Kristen Waropen menggantikan sarung dengan pakaian gaya Eropa. Anak-anak sekolah biasanya memakai celana pendek berwarna gelap atau bergaris-garis dan kemeja.

Hampir semua lelaki memakai gelang tangan yang dibuat dari akar bahar. Beberapa di antaranya memakai juga gelang tangan bernilai tinggi yang dibuat dari sejenis perak.

Laporan Weyland tahun 1705 mengatakan baik lelaki maupun wanita memakai daun-daun pohon sebagai pakaian seadanya. Kostum wanita yang diketahui Held biasanya cawat yang bergantung di depan sebatas lutut, seperti rok kerja atau celemek. Kebanyakan wanita, terutama yang lebih tua, memakai kain katun berwarna biru; gadis-gadis memakai kain katun berwarna merah, khusus untuk pesta. Untuk pesta, wanita-wanita muda menata rambutnya sampai tampak kribo, memakai kalung di leher, dan serangkaian gelang berwarna putih di lengan atas dan bawah kedua tangannya. Kain berwarna dengan pola rajutan atau tenunan tertentu dari bawah pusar sampai dengan bagian bawah kaki menjadi pakaiannya untuk pesta; bagian pusar ke atas dibiarkan terbuka.

Kesan umum tentang perilaku orang Waropen

Held melakukan penelitiannya tentang penduduk Waropen dari sisi antropologi-budaya. Sementara itu, perilaku manusia lebih cocok diteliti dari sisi psikologi individual. Tapi penelitian perilaku orang Waropen dari sudut ilmu jiwa individual berada di luar jangkauan penelitian Held. Jadi, yang dia lakukan adalah mendaftarkan beberapa kesan umumnya tentang perilaku mereka. Dia menyadari kekurangan dari pendekatan macam ini, di antaranya, penerapan reaksi pribadinya sebagai seorang Eropa dari Belanda kepada orang yang hidup dalam suatu kebudayaan yang sangat berbeda dengan kebudayaannya.

Kesan-kesan umum Dr. G. J. Held tentang perilaku orang Waropen (non-Kristen) diringkaskan demikian:

1. Kebanyakan orang Waropen tidak menunjukkan emosi yang sangat dalam. Rasa terharunya, karena itu, dangkal. Ketika ada suatu sebab yang langsung, reaksi yang timbul terkadang bersifat mendadak. Misalnya, ketika seorang lelaki akan berangkat untuk bekerja sebagai seorang buruh kontrak dengan menumpang sebuah kapal uap, ibunya yang ditinggalkan mula-mula menanggapi keberangkatannya secara singkat. Ketika kapal mulai berangkat, ibunya meratapi kepergian puteranya, seakan-akan dia tidak akan kembali lagi.

2. Dalam kemarahan mendadak, orang terkadang saling menganiaya. Tapi ketika ada suatu jarak waktu tertentu antara rangsangan dan reaksi (misalnya, ketika selama suatu pertengkaran salah satu pihak harus berdayung mencari lawannya), keberangan yang ditunjukkan terkesan dangkal. Kedangkalan rasa berang itu mengakibatkan mereka yang terpengaruh melakukan ancaman berbahaya dengan senjata, memotong tiang-tiang rumah, dan meneriakkan kata-kata sumpah-serapah secara singkat.

3. Sangat jarang orang Waropen yang terlibat pertengkaran mengungkapkan emosinya secara tidak terkendali. Held menyaksikan seorang menantu lelaki yang bertengkar dengan mertua perempuannya tampak akan membelah kepala wanita itu dengan sebuah dayung. Mengira lelaki itu akan benar-benar melukai kepala wanita itu, dia meminta putera wanita itu untuk memisahkan mereka berdua. Tapi putera itu mengatakan kedua orang yang bertengkar itu berhubungan keluarga sebagai mertua dan menantu; jadi, lelaki itu tidak akan membelah kepala wanita itu dengan dayungnya.

4. Selama pertengkaran antara suami dan isteri, biasanya wanitalah yang membuat keributan yang hebat. Sebuah potong barang tembikar dilemparkan menjadi hancur berantakan dalam keberangan yang meluap-luap; potongan-potongan barang tembikar lain terbang ke luar rumah; dinding kamar suami-isteri ditendang sampai terbuka; atap daun sagu disobek-sobek.

5. Tatakrama menuntut ketenangan yang lebih besar dari lelaki dibanding wanita. Seorang lelaki akan mencoba menyembunyikan emosinya sebaik-baiknya. Ketika Dr. Held berbicara tentang hasil sains dan teknologi Barat seperti pesawat terbang, lelaki Waropen yang mendengarkannya menunjukkan rentang perhatian yang singkat. Meskipun demikian, minatnya ternyata dibangkitkan untuk topik pembicaraan yang lain.

6. Wanita kurang memerhatikan penampilan lahiriahnya dengan menjaga wibawa seperti yang ditunjukkan laki-laki. Di depan umum, para wanita yang bertemu jauh lebih hidup dari lelaki, dan selama pertengkaran suara melengking wanita terdengar mendominasi suara lelaki.

7. Wanita berkeluarga yang lebih tua berani melakukan pertengkaran yang lebih sengit dibanding wanita yang lebih muda. Dalam pertengkaran, wanita yang lebih muda cepat menangis.

8. Sangat sering, cara-cara tertentu perilaku orang Waropen dijelaskan tidak oleh kecenderungan individual tapi oleh aturan berperilaku dalam masyarakat (social code). Pada umumnya, orang Waropen sangat tidak menyukai darah yang mengalir, misalnya, dari luka orang. Untuk menghentikan aliran darah, luka itu harus diobati sampai sembuh.

9. Ungkapan rasa terima kasih, seperti yang dipahami dalam kebudayaan orang Belanda atau orang Barat pada umumnya, tidak ditemukan di antara orang Waropen yang memperoleh gengsinya melalui pemberian barang. Hadiah seorang pemberi diterima pihak kedua tanpa mengucapkan rasa terima kasih. Ini tidak berarti pihak penerima tidak punya rasa menghargai kepada pemberi. Dalam adat orang Waropen, pemberi boleh mengatakan secara terus-terang apa yang ingin dia terima sebagai ganti barang yang diberikannya, dan penerima mana pun tidak akan mennganggap perilaku ini sebagai tidak pantas.

10. Kedangkalan emosi orang Waropen diikuti aktivitas yang agak besar. Mereka biasanya sibuk mengerjakan bermacam-macam pekerjaan. Tapi mereka sering kekurangan ketekunan yang kuat untuk menyelesaikan pekerjaannya begitu pekerjaan itu dimulai.

11. Suatu gejala yang barangkali terkait dengan gambaran umum tentang kedangkalan emosionalitas dan kegiatan ini ialah timbul-tenggelamnya rentang perhatian yang menimbulkan naik-turunnya perhatian. Perilaku ini berkali-kali terjadi selama suatu penyelidikan Held yang, tanpa alasan yang bisa dipahami, menunjukkan hilangnya secara tiba-tiba minat pada suatu pokok yang dibicarakan.

12. Suatu gejala lain yang berkaitan dengan ciri-ciri budaya adalah kekurangan keahlian orang Waropen. Para lelaki yang membuat alat-alat untuk memproses sagu, seperti penokok sagu, secara ceroboh mengukir motif-motif yang berulang-ulang. Para wanita memakai teknik yang primitif untuk membuat keranjang. Pada umumnya, mereka tidak punya banyak keahlian teknis.

13. Pengamatan orang Waropen tajam untuk kehidupan sehari-hari tapi menjadi membingungkan ketika mereka dihadapkan kepada rangsangan yang asing atau yang belum pernah mereka jumpai sebelumnya. Misalnya, mereka mampu mendeteksi kehadiran ikan melalui gerakannya yang paling kecil di air dan tahu, sering melalui intuisi, jenis dan ukuran ikan itu. Sebaliknya, mereka kesulitan memahami selembar foto kalau ukurannya tidak besar. Foto itu dipelajari dari semua sudut sampai mereka benar-benar melihat apa yang ada di foto itu.

14. Dalam pergaulan sehari-hari, orang Waropen berterus-terang tanpa menjadi lancang. Hanya anak-anak yang sewaktu-waktu bertindak melampaui batas yang pantas dan mereka sering keras kepala. Akan tetapi, mereka jarang jahat dan tidak mengganggu orang lain dengan kenakalan. Seorang anak yang dipukul orang yang lebih dewasa akan balas memukul. Orang dewasa tidak suka anak-anak menangis, tapi mereka jarang membentuk penguasaan diri ini melalui pendidikan yang disengaja. Meskipun demikian, anak-anak pada usia agak dini sudah tahu bagaimana berperilaku. Misalnya, gadis-gadis kecil kurang waktu untuk bermain-main di luar dibanding anak-anak lelaki karena mereka harus menjaga adik-adiknya dan menolong ibu-ibu dengan pekerjaannya.

15. Tentang batas usia, orang Waropen mengenal waribo, semua lelaki yang bukan anak atau orang tua, dan wiama, semua wanita muda, termasuk gadis-gadis yang lebih muda dan wanita berkeluarga yang muda. Waribo berusia antara 15 dan 35 tahun sementara wiama berusia antara 10 dan 25 tahun. Tampak bahwa wanita lebih cepat matang dibanding lelaki.

16. Semua kelompok usia ini mengikuti tatakrama sosialnya sendiri, yang tidak berlaku ketat bagi anak-anak muda.

17. Sulit menetapkan suatu aturan seragam bagi semua orang Waropen. Apa yang diterima satu orang tidak disetujui orang lain. Ketika seorang lelaki buang air kecil, sekalipun itu dekat dengan wanita, orang tidak akan berkeberatan. Tapi orang tidak boleh buang angin atau buang air besar di depan umum. Wanita melepaskan hajatnya secara sembunyi-sembunyi. Setiap orang boleh meludah atau batuk atau bersin atau menguap semau-maunya, asal dia tidak mengganggu orang lain. Sedakan bisa menimbulkan sedikit keberatan sementara muntah menertawakan. Makan dengan kunyahan bersuara dipandang tidak santun.

18. Orang tua dihormati. Orang masih menerima suatu pernyataan seorang lelaki tua yang berpengaruh. Pernyataan seorang gadis muda tidak ditanggapi serius sementara anak-anak sama sekali diabaikan. Tapi selebihnya, orang Waropen berlaku hati-hati dan sopan di antara mereka dalam pergaulan sehari-hari.

Kehidupan kampung

Dinilai dari bentuk luarnya, peradaban di Teluk Geelvink pasti miskin dan monoton. Ia menimbulkan suatu kesan yang berbeda sekali dengan peradaban, misalnya, dari suku Marind- Anim di Nieuw Guinea Belanda bagian Selatan.

Kesan yang sama berlaku juga bagi kebudayaan Waropen. Penampilan luar orang Waropen sangat tidak romantik. Pada tubuhnya, tidak terdapat dandanan yang fantastik dan rancangan gambar-tubuh yang rumit. Tidak ada pesta yang fantastik dan rumah mengesankan untuk upacara religius. Sedikit sekali ada kehidupan yang sibuk dan kegairahan.

Selain penampakan luar, gambaran dunia batin masyarakat Waropen pun memberi kesan yang sama. Lapisan masyarakat dengan kedudukan lebih tinggi hampir tidak berbeda dengan rakyat biasa. Dalam upacara religius, benda-benda adialami sepintas lalu tampak tidak berbeda dengan benda-benda biasa; perlu waktu untuk menemukan perbedaannya. Dalam mitos yang ditarikan, tokoh-tokoh mitikal hampir tidak muncul. Jelas, orang menari dan menyanyi tanpa memahami sama sekali mitos yang mereka nyanyikan itu. Topeng tidak dikenal masyarakat Waropen.

Orang Waropen menunjukkan emosi religius yang rendah. Ini menjelaskan kehidupan kampung yang sangat menjemukan dan biasa.

Ciri-ciri yang sama dalam kebudayaan Melanesia yang lain masih ditemukan dalam kebudayaan Waropen. Salah satu adalah upacara inisiasi.

Kehidupan kampung di Waropen tidak melulu tenang dan menjemukan. Ada juga sedikit variasi dalam kehidupan orang Waropen. Mereka, misalnya, lebih riang dan gembira dibanding orang Biak. Di kampung-kampungnya, ada tawa yang sering dan berderai. Umumnya, rasa murung bukan suatu ciri mereka.

Iklim di Waropen tidak menunjukkan suatu perbedaan yang jelas antara musim-musim. Kecil variasi kerja orang Waropen.

Terkadang monotoni kehidupan kampung Waropen diselingi suatu pesta, terutama di kampung-kampung yang besar. Maka tabuhan tifa dan nyanyian para penari lelaki dan wanita berkumandang selama berhari-hari. Para peserta pesta itu berperilaku jauh lebih bebas dari perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.

Orang Waropen suka melakukan pelayaran yang jauh. Tapi mereka bukan penjelajah yang berani, yang mencari bahaya demi bahaya itu sendiri. Mereka lebih suka akan pelayaran di laut yang tenang untuk mengunjungi seorang kerabat yang tinggal tidak terlalu jauh dari kampungnya.

Dengan cara demikian, kehidupan sehari-hari penduduk Waropen tenang, tanpa emosi yang berlebihan. Tidak ada wabah, tidak ada orang asing yang berhasil mengganggu rasa damai mereka secara mendalam. “Reaksi jangka panjang apakah yang akan timbul ketika terjadi kontak intensif yang makin meningkat di Barat adalah suatu pertanyaan yang akan dijawab oleh masa depan.”

Sabtu, 19 Maret 2011

7. Makna Gerakan Mesianik Suku Biak-Numfor di Papua (Revisi)

messiaanse koreri Judul: Koreri Messianic Movements in the Biak-Numfor Culture Area

Penulis: Freerk Ch. Kamma

Tempat, penerbit, tahun: The Hague: Martinus Nijhoff, 1972

Non-fiksi: 342 halaman

Kategori: ANTROPOLOGI-BUDAYA, FILSAFAT KEMANUSIAAN, AGAMA

***

Kata “Koreri” (diucapkan sebagai “koREri”) adalah suatu kata bahasa Biak-Numfor yang berarti Negara Ideal, Negara Utopian, Negara-Bahagia. Menurut suku Biak-Numfor, kondisi mirip sorga ini akan diwujudkan oleh seorang tokoh mirip Mesias, seorang pembebas atau juru selamat. Tokoh itu adalah Manseren Koreri (kata pertama diucapkan sebagai “MANseren” atau “manSEren”): Tuhan Negara-Bahagia. Ada nama-nama lain dari Manseren Koreri, seperti Manseren Manggundi dan Sekfamneri (dipakai khusus penduduk Raja Ampat asal Biak). 

kamma rumainum Pdt. Dr. F.C. Kamma tampak berjabatan tangan dengan Pdt. F.J.S. Rumainum (asal Biak), Ketua Sinode Umum Gereja Kristen Injili di Nieuw Guinea Belanda dan Irian Barat

Pembebas atau Juru Selamat yang Dinantikan

Judul disertasi Kamma berisi kata “Mesianik”. Apa maksudnya?

Istilah “Mesianik” pada judul itu tidak mengacu pada pengaruh Yahudi atau Kristen, atau pada suatu identitas fundamental. Ia mengacu pada suatu analogi resmi yang disebabkan munculnya tokoh-tokoh mirip Mesias; selain itu, analogi resmi itu disebabkan juga oleh pengharapan utopian akan kedatangan kembali mereka. Pada umumnya, istilah “Mesianik” dipakai dalam antropologi-budaya untuk memerikan kepercayaan akan seorang pembebas atau juru selamat yang dinantikan, seperti yang dibahas dalam penelitian Kamma.

Di samping itu, masyarakat yang memiliki kebudayaan primitif sendiri sudah memerhatikan analogi resmi tadi. Dalam konteks ini, perhatian mereka membenarkan pemakaian istilah “Mesianik”. Misalnya, seorang informan asal Biak mengatakan kepada Kamma bahwa pesan Injil mula-mula menimbulkan kesan bahwa Kristus dan Manggundi, tokoh Mesianik di Biak, adalah orang yang sama.

Tokoh mirip Mesias

Gerakan-gerakan Mesianik timbul dari pengharapan akan keselamatan dan melibatkan kembalinya seorang tokoh mirip Mesias. Gerakan-gerakan ini berasal dari suatu masa pra-sejarah mitikal, bertolak dari kepercayaan religius, dan berisi unsur-unsur apokaliptik. Pemberontakan manusia melalui gerakan-gerakan itu adalah terhadap ketergantungan manusia pada umumnya, yaitu, pada penyakit dan kematian; secara khusus, pemberontakan itu untuk melawan situasi-situasi gawat atau parah yang baru timbul. Gerakan-gerakan itu bersifat milenial bila gerakan itu tidak melibatkan kedatangan kembali secara khusus dari seorang Mesias.

Tokoh-tokoh mirip Mesias menunjukkan kemiripan yang mengherankan dengan para pengkhotbah dalam Alkitab Perjanjian Lama. Mereka menyatakan keselamatan Mesianik tanpa penghakiman ilahi dan, karena itu, disebut nabi-nabi palsu. Di pihak lain, mereka mirip tokoh-tokoh Mesias palsu dalam Yudaisme dan agama Kristen; mereka juga mirip Imam Mahdi dalam ajaran Islam.

Misalnya, Musa dari Kreta, pulau terbesar Yunani di Laut Aegea bagian Selatan, menyebut dirinya Mesias pada abad ke-5 Masehi. Dia berhasil membujuk para pengikutnya untuk menjatuhkan dirinya dari suatu tanjung ke dalam laut dan mengakibatkan banyak di antaranya tewas. Mereka menjatuhkan dirinya ke laut karena percaya akan janji Musa bahwa mereka akan hidup-hidup ke Tanah Perjanjian, yaitu, Palestina.

Gerakan-gerakan Mesianik universal

Gerakan-gerakan Mesianik sudah terjadi sepanjang sejarah manusia dan di semua tempat. Kerinduan akan seorang Mesias hampir setua catatan-catatan tertulis umat manusia. Hampir 1.500 tahun sebelum ada acuan pertama kepada seorang Mesias dalam tulisan-tulisan Yahudi, Ipuwer dari Mesir kuno merumuskan penantian Mesianik. Selain itu, gerakan-gerakan Mesianik dilaporkan terjadi di zaman kuno di Babilonia, Mesir, Yunani, Roma, dan Turki. Gerakan-gerakan itu diadakan juga di seluruh Eropa, di China, India, Indonesia, Madagaskar, Filipina, Melanesia, dan Polinesia. Kepercayaan akan tokoh Mesianistik dan gerakan-gerakan yang menantikan kembalinya mereka tidak hanya ada dalam agama-agama primitif tapi juga dalam agama-agama utama dunia: Buddhisme, Hinduisme, Islam, dan Kristen.

Esensi manusia

Penantian akan datangnya keselamatan yang dibawa tokoh Mesianik adalah esensi atau inti manusia. Manusia yang menantikan datangnya keselamatan itu tidak dibatasi oleh realitas atau oleh pembatasan yang berasal dari kebudayaannya. Dia malah menerobos kendala itu, kalau perlu dengan kekerasan. Penantian itu dikaitkan dengan suatu realitas adialami (supernatural) dalam arti religius yang ketat, atau dengan suatu bentuk utopia yang diduniawikan.

Konteks budaya Biak

Penelitian Kamma berupaya menempatkan gerakan-gerakan Koreri dalam konteks budaya Biak sendiri dan menjelaskannya berdasarkan konteks ini. Suatu gerakan Koreri hanya bisa dipahami dalam kerangka budayanya sendiri. Mencirikan gerakan-gerakan Mesianik dari Biak melulu melalui peristiwa-peristiwa luar dan sering spektakuler di dalamnya adalah suatu upaya yang berbahaya. Dalam hubungan yang luas, Kamma yang membahas gerakan-gerakan Koreri di daerah kebudayaan Biak-Numfor meneliti juga manusia dalam totalitasnya sebagaimana yang diungkapkan dalam kebudayaannya. Masalah yang dihadapi para penganut Koreri dan peserta gerakan-gerakan Koreri bukanlah masalah sosio-ekonomik atau psikologis melainkan masalah kebudayaan; karena itu, seluruh aspek manusia harus dipertimbangkan.

Daerah Kebudayaan Biak-Numfor

Selain itu, Kamma menyebutkan “daerah kebudayaan Biak-Numfor”. Apa maksudnya?

Istilah “daerah kebudayaan” mengacu kepada suatu lingkungan geografik dengan pendukung-pendukung kebudayaan (material dan spiritual) yang memiliki pola-pola kebudayaan yang pada dasarnya sama. Berdasarkan pengertian ini, daerah kebudayaan Biak-Numfor mencakup penduduk pulau Biak dan Numfor dan kawasan-kawasan emigrasinya, yaitu, Dore (Manokwari), pulau Roon (di utara Semenanjung Wondama), Waigeo Barat (Kepulauan Raja Ampat), kawasan yang dihuni suku Sawai di Halmahera Timur dan barangkali Seram Utara, beberapa kelompok kecil emigran Biak di Waigeo Tengah (Kepulauan Raja Ampat), sejumlah kecil suku Biak yang mengalami kawin campur dengan suku Moi dan Madik di Barat-laut Kepala Burung tapi tidak lagi berbahasa Biak, dan barangkali beberapa penduduk Pulau Gebe (Kepulauan Raja Ampat) yang juga tidak lagi berbahasa Biak. Sekitar pertengahan tahun 1950-an, ada kira-kira 40.000 penduduk suku Biak-Numfor, 30.000 tinggal di Biak dan selebihnya di kawasan-kawasan emigrasi yang sudah disebutkan. 

Kebudayaan material yang pada dasarnya sama dalam daerah kebudayaan Biak-Numfor mencakup antara lain teknologi pembuatan rumah, perahu, dan model busana yang kurang lebih sama. Kebudayaan spiritualnya dipahami di antaranya melalui bahasa dan kepercayaan tradisionalnya. Kecuali untuk suku Sawai dan suku-suku kecil yang tidak lagi berbahasa Biak di Kepulauan Raja Ampat, semuanya berbahasa Biak, dengan dua belas kelompok dialek. Sembilan kelompok dialek dipakai di Biak dan Numfor sementara tiga kelompok dialek dipakai di Roon, Dore, dan Waigeo Barat. Selain dipersatukan oleh satu bahasa dengan keduabelas kelompok dialeknya, penduduk daerah kebudayaan Biak-Numfor dipersatukan juga oleh kepercayaan mereka akan seorang tokoh mirip Mesias. Tokoh ini ditolak masyarakat Biak-Numfor di masa lampau lalu pergi ke Barat tapi berjanji akan kembali lagi. Mereka yang percaya kepadanya menantikan kembalinya dia melalui gerakan-gerakan Koreri. Pendek kata, kebudayaan material dan spiritual penduduk daerah kebudayaan Biak-Numfor pada dasarnya sama.

Realitas Aktual vs Realitas Ideal

Gerakan Koreri di daerah kebudayaan Biak-Numfor pada umumnya adalah reaksi terhadap sisi negatif kehidupan masyarakat Biak-Numfor. Di dalam sisi negatif kehidupan itu, muncullah perpecahan yang nyata antara realitas ideal dan aktual.

Masyarakat tradisional daerah kebudayaan Biak-Numfor percaya akan adanya realitas ideal dan aktual. Rasa tidak aman yang tinggi dalam realitas aktual mendorong mereka mendambakan realitas ideal, tempat ada kebebasan dari kehidupan sehari-hari yang tidak mereka sukai. 

Realitas aktual berisi banyak krisis hidup. Ini mencakup penyakit dan kematian, tanah yang tidak subur, perang-perang pengayauan (head-hunting raids) yang berdarah, wabah yang sewaktu-waktu mengorbankan ribuan orang, kuasa-kuasa gaib yang menimbulkan rasa takut, panen yang gagal karena serangan hama, cuaca yang buruk, ancaman perang dari satu klen terhadap klen yang lain, praktek sihir hitam, dan lain-lain. Eksistensi aktual ini tidak mereka cita-citakan dan, sebagai akibatnya, menimbulkan reaksi-reaksi negatif dari penduduk daerah kebudayaan Biak-Numfor: mereka tidak menyukai realitas aktual ini dan ingin bebas dari padanya. 

Akan tetapi, keterbatasan pengetahuan dan keterbatasan kekuasaan lain dari kecendekiaan mereka tidak memberi kemungkinan realistik bagi mereka untuk mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Pilihan yang mereka buat adalah mencoba menerobos ke dalam kenyataan mitikal, realitas ideal yang mereka yakini ada. Keberadaan ideal ini berisi akhir dari rasa tidak aman mereka. Eksistensi utopian ini mencakup hidup yang kekal, kesuburan tanah, panen yang berlimpah-limpah, hidup yang sehat-walafiat, cuaca yang baik, perdamaian dan rasa damai, kebaikan, dan hal-hal lain yang baik dan indah. 

Untuk mencapai realitas ideal, penduduk daerah kebudayaan Biak-Numfor berusaha mewujudkan Koreri, Negara-Bahagia. Mereka mencoba mentransendensi realitas aktual itu supaya eksistensi yang mereka rindukan bisa diwujudkan. Realitas ideal itu berada di dalam dan melalui pahlawan mitikal mereka, Manseren Koreri, Tuhan Negara-Bahagia.

Siapakah Manseren Koreri? Dia seorang leluhur tradisional atau leluhur yang sungguh ada. Leluhur itu mengejawantahkan (embody) banyak pahlawan mitikal. Dengan kata lain, dia adalah “konsentrasi dari banyak pahlawan mitikal dari seluruh mitologi Biak.” Dia seorang penengah (mediator) antara Koreri, realitas ideal, dan realitas aktual karena dia sendiri memiliki ikatan mutlak dengan Koreri. 

Sejarah Ringkas Gerakan Koreri

Catatan atau laporan sejarah orang Barat tentang Manseren Manggundi dan gerakan-gerakan yang menantikan kedatangannya kembali di daerah kebudayaan Biak-Numfor dan kawasan tertentu pesisir Nieuw Guinea Belanda bagian utara, seperti yang dibahas Kamma, muncul antara kira-kira pertengahan abad ke-19 dan memasuki abad ke-20 sampai dengan tahun 1967. Laporan pertama kali dibuat tahun 1854 lalu muncul lagi tahun 1855 di Numfor. Laporan-laporan orang Barat lain paruhan kedua abad ke-19 muncul tahun 1857; 1860 (Numfor); 1861 (Mansinam dan Wandamen, kini Wondama); 1864 (Amberbaken, pesisir utara Kepala Burung); 1866 (Roon, utara Semenanjung Wondama); 1867 (Wondama dan Dusner, di seberang Teluk Wondama); 1868 (Waropen dan Numfor); 1868 (Wariab, utara pulau Rumberpon di Teluk Cenderawasih masa kini); 1868 (Dore, Manokwari); 1869 (Dusner); 1875 (Mansinam, sebuah pulau dekat Manokwari); 1877 (Mansinam); 1880 (Mansinam); 1881 (Meoswar, Teluk Cenderawasih masa kini); 1882 (Mansinam); Biak; Biak; 1884 (Biak); 1890 (Mansinam); 1892 (Dore); 1894 (Roon);  dan 1894 (Pulau Waar, Teluk Cenderawasih masa kini). Dalam abad ke-20, gerakan-gerakan Koreri muncul tahun 1900-1908 (Roon); 1901 (Numfor); 1909 (Biak dan Numfor, Teluk Cenderawasih masa kini); 1910 (Mamberamo, pesisir utara Papua masa kini); 1910 (Numfor); 1920 (Manokwari); 1923 (Biak); 1926 (Biak); sekitar 1926 (Kepulauan Padaido, Biak); 1927-28 (Biak); 1925 (Yapen, Teluk Cenderawasih masa kini); 1927 (Kurudu, Teluk Cenderawasih masa kini); 1931 (kepulauan Ayau, Raja Ampat); 1932 (kampung-kampung Amber, Waigeo Raja Ampat); 1933 (kepulauan Ayau); 1934 (Batanta, Raja Ampat); 1936 (Pam, Raja Ampat); 1941 (kepulauan Ayau); 1947 (Yefbo, Raja Ampat); 1938-1943 (Biak, Numfor, dan Yapen); dan 1962, 1966, dan 1967 (Arefi-Yensawai, Raja Ampat).

Gerakan-Gerakan Serupa di Nieuw Guinea bagian Barat (kini Provinsi Papua dan Papua Barat)

Kepercayaan akan Koreri, tokoh Mesianik, dan gerakan-gerakan yang menantikan kembalinya dia seperti yang dipercaya masyarakat di daerah kebudayaan Biak-Numfor cocok dengan struktur kebudayaan suku-suku Papua yang lain di bekas jajahan Belanda itu. Mitologi kawasan pesisir bagian utara sering sangat mirip dengan mitologi di Biak. Di Biak, dan di tempat lain, gerakan-gerakan mirip Koreri diketahui diadakan, tapi dalam banyak hal informasi yang tersedia tidak memadai untuk memberikan penjelasan yang memuaskan. Akan tetapi, Dr. Kamma mendaftarkan gerakan-gerakan dalam Lampirannya dengan harapan mempermudah penelitian lebih lanjut di masa depan.

Dia mendaftarkan 26 gerakan mirip Koreri di berbagai kawasan di Nieuw Guinea Belanda dan Irian Barat. Gerakan-gerakan itu diadakan di kawasan pesisir bagian utara, beberapa daerah di pedalaman, dan beberapa lagi di selatan bekas jajahan Belanda yang masa kini bernama Papua dan Papua Barat. Gerakan pertama muncul sekitar tahun 1900 di Tabati dan Injeros, dua kampung pesisir di Jayapura masa kini, disusul gerakan lainnya yang muncul dalam satu tahun atau beberapa tahun, biasanya secara timbul tenggelam, sampai dengan tahun 1962.

Info Tambahan

Penelitian F.C. Kamma (1906-1987) dilakukan ketika dia dan keluarganya tinggal di antara penduduk berbahasa Biak yang tinggal di kawasan Raja Ampat (Sorong), Nieuw Guinea bagian Barat (kini provinsi Papua Barat) antara tahun 1932 dan 1942. Kamma seorang pendeta, misionaris Protestan dari Gereja Hervormd (Reformasi) Belanda, ahli antropologi-budaya, dan ahli sejarah gereja, khusus di Nieuw Guinea Belanda (kini Papua dan Papua Barat). Dia dan keluarganya mahir berbahasa Biak.

asrama wanita waisaiwaigeo Sebuah asrama wanita di Waisai, Waigeo, yang dibangun dengan bantuan Yayasan F.C. Kamma

Tiga dari gerakan Koreri yang dia perikan dalam disertasinya terjadi di kawasan itu. Kejadian itu memampukannya meneliti gerakan-gerakan itu melalui partisipasi dan observasi.

Buku ini adalah hasil terjemahan dan revisi Kamma dari disertasinya untuk mendapat gelar doktor pada Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Leiden, Belanda, pada tahun 1954. Judul aslinya dalam bahasa Belanda: De Messiaanse Koreri-Bewegingan in het Biaks-Numfoorse Cultuur-Gebied dan diterbitkan J.N. Voorhoeve, Den Haag, 1954. Disertasi Kamma berisi 11 bab ditambah satu lampiran, sedaftar singkatan, bibliografi, indeks umum, foto-foto, dan peta-peta.

meisjesinternaat f.c.kamma sorong Asrama wanita lain di Sorong yang dibangun dengan bantuan Yayasan F.C. Kamma

Gerakan Koreri Masih Berlanjut

Data Kamma berakhir tahun 1962 barangkali karena pemerintahan atas Irian Barat waktu itu beralih dari Belanda ke Indonesia Agustus 1962. Meskipun demikian, kepercayaan akan Koreri dan gerakan yang menyertainya yang tidak dicatat Kamma dalam disertasinya masih muncul di zaman Indonesia. 

Mingguan Tempo Online (28 Januari 1978) mengatakan gerakan Koreri diadakan di Yamnaibori, sebuah gunung yang keramat dalam mitos keramat tentang Koreri, Biak. Kegiatan mereka mencakup menyanyi sambil menantikan kedatangan Manseren Koreri di gunung itu.

Harian Kompas terbitan Rabu, 10 Juni 2009 (halaman 24 kolom 5-7) menyatakan bahwa ajaran kuno Koreri asal Biak menjadi dasar motif kelompok bersenjata pimpinan Decky Imbiri di Mamberamo Raya. Selama sebulan, mereka mengakibatkan lapangan terbang perintis Kampung Kapeso kabupaten itu tidak bisa dipakai untuk lalu lintas penerbangan. Sesudah menewaskan tiga orang anggota kelompok itu, polisi berhasil membebaskan lapangan terbang itu dari kelompok bersenjata tadi. Mereka masih mengejar Decky dan pengikutnya yang lain.

Menurut keterangan yang diperoleh Kompas, perlawanan kelompok bersenjata tadi diduga didorong oleh ajaran kuno masyarakat Biak tentang Koreri. Pelopor gerakan ini adalah Helena Yanserem (64), seorang ibu, biasa dipanggil Mama Nela, dan Agus Sulo (14). "Dalam ajaran ini, mereka menantikan kedatangan seorang pahlawan yang akan membebaskan orang Papua dari penjajahan," tulis Kompas. Mama Nela yang sebelumnya ada di Yapen Waropen mengatakan dia mendapat "wangsit" melalui mimpinya untuk pergi  bersama Decky Imbiri ke Mamberamo. 

Impian Sukma dan Kalbu Masyarakat Papua dan Papua Barat

Munculnya kembali gerakan Koreri, menurut kedua laporan tadi, membuktikan sekali lagi pernyataan Dr. F.C. Kamma bahwa penantian akan Koreri dan kembalinya Manseren Koreri adalah esensi manusia. Laporan tertulis menelusuri kepercayaan tradisional penduduk daerah kebudayaan Biak-Numfor ini dan penduduk daerah kebudayaan lain di Nieuw Guinea Belanda seawal-awalnya pada tahun 1854 dan sedini-dininya pada tahun 1967. Tapi kepercayaan tradisional itu yang tidak dicatat diperkirakan sudah terjadi jauh sebelum pertengahan abad ke-19. Sesudah tulisan Kamma berakhir 1967, kisah kepercayaan tradisional suku Biak-Numfor itu masih muncul menjelang akhir 1970-an dan akhir 2000-an. Selama masyarakat salah satu suku besar di Papua dan Papua Barat masa kini menyadari adanya perpecahan antara realitas aktual dan ideal dan tidak menemukan pemecahan yang memuaskan atas realitas aktual yang tidak mereka sukai, kepercayaan akan Manseren Koreri dan gerakan-gerakan yang menantikan kembalinya dia membawa kondisi firdausi akan tetap ada dan muncul ke permukaan. Esensi manusia, termasuk manusia Papua dari daerah kebudayaan Biak-Numfor yang percaya akan tokoh mereka yang mirip Mesias, abadi.

Disertasi F. C. Kamma yang dinilai istimewa itu layak dijadikan sebuah acuan utama oleh mereka yang terlibat dengan pembangunan masyarakat Papua dan Papua Barat masa kini dan masa depan. Apa yang dia bahas dan perikan boleh dikatakan adalah impian kalbu dan sukma mereka. Menanggapi kerinduan yang paling dalam mereka melalui pembangunan yang nyata akan memecahkan banyak masalah di kedua provinsi itu, termasuk masalah Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Catatan: Anda yang tertarik membaca mitos keramat tentang Manseren Koreri bisa mengakses http://evergreentropicalstories.blogspot.com di sini. Kisah ini diawali penjelasan-penjelasan seperlunya dalam dua artikel (10 dan 11) terbitan Mei 2009.

Selasa, 15 Maret 2011

6. Bagaimana Allah Mengubah Otakmu

how god changes your brain

Judul: How God Changes Your Brain

Penulis: Andrew Newberg, M.D. dan Mark Robert Waldman

Tempat, penerbit, tahun: New York: Ballantine Books, 2009

Non-fiksi: 348 halaman

Kategori: SAINS NEUROLOGI, KEDOKTERAN, AGAMA

Inilah buku keempat Andrew Newberg M.D., seorang profesor luar biasa pada Jurusan Radiologi dan Psikiatri dan seorang asisten profesor pada Jurusan Kajian Religius  Universitas Pennsylvania (AS). Bersama Mark Robert Waldman, seorang Anggota Luar Biasa pada Pusat Spiritualitas dan Akal Budi universitas ini, Newberg menyebarkan melalui buku mereka apa yang diistilahkan neurotheology (teologia tentang susunan saraf), suatu kajian tentang hubungan antara iman dan otak manusia.

andrew newberg Andrew Newberg, M.D.

Sebagai pendiri dan direktur Pusat Spiritualitas dan Sains tentang Susunan Saraf Universitas Pennsylvania, Newberg bekerja sama dengan Waldman melakukan riset tentang spiritualitas dan otak. Penelitiannya adalah suatu “tuntunan lapangan untuk pertolongan bagi diri demi manfaat-manfaat kesehatan dan spiritualitas” dan latihan-latihan meditasi.

Cara Otak Memproses Pengalaman Rohani

Melalui pikiran cepat dan kreatif (brainstorming), mereka berdua mencatat beberapa riset tentang cara latihan-latihan rohani mengubah susunan dan fungsi otak manusia. Mereka meringkaskan selusin cara yang berbeda-beda otak manusia memproses pengalaman rohani.

Cara-cara apa? Otak manusia memproses pengalaman itu tidak secara serentak atau secara menyeluruh tapi berdasarkan bagian-bagian otak. Misalnya, satu bagian otak bisa menimbulkan suatu bayangan tentang seorang allah yang marah; bagian lain tentang perasaan seorang allah yang menaruh belas kasihan; bagian lain lagi tentang pikiran yang ragu-ragu; dan seterusnya.

mark robert waldman1 Mark Robert Waldman

Dalam hubungan ini, kedua ilmuwan itu memaparkan data yang baru tentang proses dan orientasi rohani orang Amerika masa kini. Data itu menunjukkan bagaimana mereka menjadi kurang religius tapi lebih rohani. Proses rohani itu tampak ketika mereka berpedoman pada citra-citra suatu alam semesta yang ilmiah tapi mistikal, gaib, misterius.

Konsep yang Berbeda tentang “Allah”

Konsep tentang “Allah” tidak sama bagi setiap orang. Ini mereka berdua temukan melalui suatu survei online terhadap seribu peserta. Hampir setiap peserta punya suatu asas luas yang sangat berbeda tentang “Allah”.

Konsep yang sangat berbeda itu mereka pahami dari suatu hasil percobaan. Mereka melibatkan peserta yang diminta menggambar Allah lalu menelusuri cara gagasan abstrak yang luas itu berkembang pada peserta dengan tingkat usia yang berbeda. Gagasan abstrak tentang Allah mulai sebagai suatu wajah dalam otak seorang anak. Tapi semakin seorang berpikir tentang allah, penggagasan atau bayangannya yang abstrak mulai terbentuk. Konseptualisasinya baru dan terbentuk dalam bagian-bagian yang berbeda dari otaknya.

Cara Allah Mengubah Otak Manusia

Sehubungan dengan riset Newberg dan Waldman tentang spiritualitas dan otak, bagaimanakah mereka berdua mengamati perubahan susunan dan fungsi otak manusia? Melalui teknologi pemindaian otak manusia, pengamatan, dan penafsiran.

Untuk itu, mereka melakukan pemindaian banyak otak praktisi meditasi atau perenungan, baik yang religius maupun yang sekuler. Praktisi itu penganut Kristen, Buddhisme, atau non-religius. Sementara dipindai, para praktisi itu melakukan perenungan tentang masalah rohani apa pun, bahkan melakukan perenungan tentang evolusi atau Dentuman Besar.

Hasil penemuan Newberg dan Waldman? Semakin intens atau padat-kental seorang praktisi membuat perenungan, semakin perenungannya mengubah susunan dan fungsi bagian-bagian lain dari otaknya dengan cara yang sehat.

Misalnya, penganut Kristen, Buddhisme, atau non-religius yang bermeditasi terus-menerus mengubah talamusnya. (Talamus adalah massa kelabu pada dasar otak besar, berkembang dari dinding bilik otak III, membentuk sebagian dinding itu, dan menerima data dari semua indera atau sistem sensoris, kecuali dari hidung.) Perubahan talamusnya melalui meditasi intens berarti juga perubahan persepsi mereka tentang realitas. Secara khusus, perubahan talamusnya mengakibatkan kepercayaannya yang paling dalam terasa “nyata secara neurologis”.

Pengalaman spiritual para praktisi meditasi itu menjelaskan judul buku karya Newberg dan Waldman. Apa bukti yang kuat bahwa Allah mengubah otak mereka? Pengalaman nyata penganut ateisme yang mempraktekkan juga meditasi. Melalui meditasi, mereka menumbuhkan dendrit (juluran protoplasma sel saraf yang mengantar impuls ke badan sel) di kawasan yang penting dari otaknya. Penumbuhan dendrit itu tampak memperlambat penyakit-penyakit yang menimpa mereka dan kita ketika kita semua menjadi tua.

Bahasa yang Mudah Dicerna

Tidak selalu mudah menjelaskan hasil penelitian ilmiah yang biasanya teknis dalam bahasa yang mudah dicerna. Tapi Andrew Newberg dan Mark Robert Waldman mampu menjelaskan ilmu susunan saraf dengan cara yang bisa dipahami siapa pun.

Daya komunikatif buku mereka bisa kita amati dari petunjuk-petunjuk jelas yang mereka berikan. Pembaca yang berminat mempraktekkan petunjuk-petunjuk itu bisa, misalnya, merangsang suatu pusat utama kesadarannya yang secara teknis diistilahkan prekuneus. Ini bagian otak untuk pikiran logis, penalaran, dan motivasi dan berada pada baga (lobe) frontal otaknya. Selain itu, dia bisa merangsang singulat anterior, bagian otaknya yang berisi belas kasihan, intuisi, dan kesadaran sosial.

Untuk mempermudah pemahaman Anda secara visual, kami menambahkan gambar-gambar berikut tentang bagian-bagian otak yang diuraikan dalam buku kedua penulis tadi. Gambar-gambar ini mencakup beberapa skema belahan otak bagian kanan dan kiri.

brain lobes Gambar otak di bawah tengkorak manusia. Searah jarum jam, ada baga frontal, fisura pusat, baga parietal, baga oksipital, baga temporal, dan fisura lateral.

Prekuneus berada pada baga frontal. Tapi gambar ini kurang menunjukkan apakah prekuneus berada di belahan otak bagian kiri atau kanan. Gambar-gambar berikut memperjelas letak prekuneus dan juga singulat anterior.

brain hemispheres Suatu gambar tentang belahan otak bagian kiri dan kanan menunjukkan bahwa prekuneus berada di belahan otak bagian kiri. Sementara itu, singulat anterior ada di belahan kanan.

Suatu gambar lain memperjelas lokasi prekuneus dan singulat anterior.

topbrain Gambar kedua memperkuat letak prekuneus (di belahan otak bagian kiri)  dan singulat anterior (di belahan otak bagian kanan). Pikiran logis dan  rasional dari prekuneus ada di kiri; pikiran intuitif, belas kasihan, dan kecerdasan sosial ada di kanan.

 

otak kiri otak kanan Gambar ketiga melambangkan bagian-bagian khusus dari kedua belahan otak tadi dengan gambar-gambar kecil.

Ringkasan Setiap Bab

Untuk memahami lebih jauh isi buku Newberg dan Waldman, kami memberikan ringkasan setiap bab. Ini perlu karena buku mereka berdua kaya akan info praktis dan menarik.

  1. Memperkenalkan konsep-konsep dasar tentang kelenturan susunan saraf, “perang” neurologis antara kepercayaan dan tiadanya kepercayaan, dan alasan konsep religius apa pun menimbulkan kemarahan dan belas kasihan.
  2. Memerikan cara suatu nyanyian (yang gampang dan pendek) selama 12 menit untuk latihan meditasi memperbaiki ingatan pada orang-orang yang lebih tua dalam waktu kurang dari 8 minggu. Memerikan juga cara seorang peserta meditasi atau perenungan menciptakan program latihannya untuk mempertinggi fungsi otaknya.
  3. Menjelajahi keanekaragaman saraf (neural) tentang meditasi dan doa, dan menjelajahi juga cara bagian-bagian yang berbeda dari otak menciptakan persepsi yang berbeda tentang Allah. Mencakup juga pembahasan tentang cara zat-zat kimia dan obat bius yang berbeda-beda mengubah kepercayaan religius dan realitas.
  4. Kebanyakan orang mengatakan Allah dialami lebih banyak sebagai perasaan dan kurang dipahami sebagai suatu gagasan; pengalaman setiap orang unik; dan pengalaman mistikal (gaib) sering menimbulkan keadaan kesatuan, damai sejahtera, dan cintakasih yang bertahan lama.
  5. Seperti apa wajah Allah? Untuk menjawab pertanyaan ini, kedua penulis mengumpulkan gambar-gambar orang dewasa tentang Allah lalu membandingkannya dengan gambar-gambar yang dibuat anak-anak. Ternyata, gambar-gambar yang paling canggih dibuat mereka yang percaya akan Allah, kaum ateis, dan mahasiswa perguruan tinggi yang agnostik. Tapi banyak ateis mempertahankan citra-citra masa kanak-kanak tentang allah, yang bisa menjelaskan mengapa allah tidak berarti apa pun bagi mereka. Selanjutnya, setiap orang punya  neuron (kesatuan saraf) atau kontak aliran (circuit) di otaknya.
  6. Memerikan empat “kepribadian” Allah, dilanjutkan dengan hasil survei kedua penulis tentang sikap dan orientasi religius atau spiritual orang Amerika: mereka mempertahankan suatu visi yang gaib dan berisi cintakasih tentang alam, Allah, dan orang-orang.
  7. Ada nilai dalam semua praktek dan tradisi kerohanian; permusuhan, rasa takut, otoritarianisme, dan idealisme berisi bahaya-bahaya neurologis; dan kita semua punya mentalitas fundamentalistik dan ateistik yang terjalin secara kuat di dalam otak kita.
  8. Ada 8 cara untuk menenangkan suatu otak yang tidak berfungsi.
  9. Berisi teknik-teknik meditasi yang handal dan sederhana bagi siapa pun untuk mengurangi stres, kegelisahan, dan depresi. Sementara itu, ingatan kognitif dan kepekaan yang lebih besar serta empati terhadap diri sendiri dan orang lain ditingkatkan melalui teknik-teknik tadi. Selanjutnya, hampir setiap teknik meditasi bisa dilepaskan dari konteks teologisnya untuk menyediakan perubahan-perubahan neurologis dan psikologis. Kemudian, meditasi selama beberapa menit dalam satu hari bisa memperbaiki fungsi otak.
  10. Berisi pembicaraan tentang suatu latihan meditasi asli yang bisa dipakai seorang praktisi ketika dia berdialog dengan orang lain. Latihan ini memakan waktu 15 menit untuk dipelajari, mampu memperbaiki belas kasihan dan keakraban sosial setinggi 11% sekalipun latihan ini diadakan bersama orang asing. Ada sekitar selusin cara untuk mengatasi secara cepat konflik-konflik antar-pribadi.

Epilog

Andrew Newberg yang adalah juga seorang pakar kedokteran internal, kedokteran nuklir, dan kardiologi nuklir adalah seorang ilmuwan AS berdarah Yahudi. Meskipun demikian, dia dan Waldman bukanlah orang-orang yang religius dalam arti mempraktekkan ajaran agama tertentu. Tapi, dalam epilog, mereka berdua berbicara secara singkat tentang pengalaman mereka sendiri sebagai ilmuwan memasuki dunia religius atau spiritual. Dunia ini adalah tempat sains dan agama bersilangan.

Kamis, 10 Maret 2011

5. Teori Politik Huntington tentang Benturan Antarperadaban

Judul: The Clash of Civilizations and the Remaking of the World Order

Penulis: Samuel P. Huntington

Penerbit: Simon & Schuster

Tempat dan tahun penerbitan: New York, 1996

Non-fiksi: 353 halaman

Kategori: POLITIK

Istilah “benturan antarperadaban” berasal dari suatu teori ilmuwan politik tenar, Samuel P. Huntington (1927-2008). Menurut teorinya, identitas budaya dan agama orang akan menjadi sumber utama konflik dalam dunia pasca Perang Dingin, yaitu, hubungan bermusuhan tanpa kekerasan antara negara-negara Komunis pimpinan Uni Soviet dan negara-negara Barat pimpinan Amerika Serikat antara sekitar tahun 1946 dan 1989.

samuel p. huntington Samuel P. Huntington (1927-2008)

Teorinya dia uraikan secara ilmiah dan rinci dalam bukunya yang terkenal terbitan Simon & Schuster, 1996: The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. Versi bahasa Indonesianya berjudul Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia Edisi Baru terjemahan M. Sadat Ismail, suntingan Ruslan (Yogyakarta: Penerbit Qalam, Cetakan Keenam Januari 2003).

-clash_civilizations
Karya tenar Samuel P. Huntington

Apa yang Huntington maksudkan dengan “peradaban”?  Definisinya dalam bukunya agak rancu. Peradaban yang dia jelaskan bisa terdiri dari negara dan kelompok sosial, seperti kelompok etnik dan minoritas religius. Tapi peradaban bisa juga mengacu pada kedekatan geografik dan persamaan bahasa. Yang tampaknya menjadi suatu kriterium utama dalam definisinya tentang peradaban adalah agama yang paling dominan.

Berdasarkan definisinya yang agak rancu tadi, dia mengidentifikasi beberapa peradaban utama dunia. Di antaranya, peradaban Barat, dunia bagian Timur, dan peradaban Muslim. 

Peradaban Barat mencakup beberapa kawasan geografik. Ada Australasia, kawasan yang terdiri dari Australia, Selandia Baru, Papua Nugini, dan pulau-pulau yang berdekatan di Samudera Pasifik Selatan; Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada); dan Eropa (seperti Inggris, Jerman, Perancis, Belgia, dan Belanda), termasuk Eropa Tengah dan Eropa Timur-Tengah yang dominan Katolik. Ia mencakup juga Oseania, kawasan geografik yang terdiri dari kebanyakan pulau yang lebih kecil di bagian barat dan tengah Samudera Pasifik, yang mencakup juga Australia dan Selandia Baru.

Peradaban dunia bagian Timur adalah suatu campuran peradaban penganut Buddhisme dan Hinduisme serta peradaban Sino dan Jepang. Secara khusus, peradaban Sino terdiri dari penduduk China, Korea, Singapura, Taiwan, dan Vietnam. Orang-orang China perantauan, terutama di Asia Tenggara, tergolong pada peradaban Sino.

Peradaban Muslim mencakup penduduk Timur Tengah, kecuali Armenia, Siprus, Etiopia, Georgia, Yunani, Israel, Kazakhstan, dan Sudan. Ia mencakup juga Afrika Barat bagian utara, Albania, Bangladesh, Brunei, Kepulauan Komoro, Indonesia, Malaysia, Pakistan, dan Kepulauan Maldives.

Huntington menolak kepercayaan luas masyarakat Barat bahwa nilai-nilai dan sistem politik Barat bisa diterima dan dipraktekkan di mana pun di dunia. Ini kepercayaan yang naif, tegasnya. Karena itu,  upaya tak henti-hentinya dari Barat untuk mendorong demokratisasi dan terlaksananya norma-norma “universal” lainnya dari mereka akan menimbulkan sikap bermusuhan peradaban-peradaban lainnya. Barat, lanjut Huntington, tidak rela menerima sikap ini. Bukankah merekalah yang membentuk sistem internasional, menulis undang-undangnya, dan memberi isinya dalam bentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa?

Huntington lalu mengidentifikasi suatu pergeseran utama dari kekuasaan ekonomi, militer, dan politik dari Barat ke peradaban-peradaban dunia yang lain. Pergeseran utama itu terjadi melalui munculnya dua “peradaban penantang”: peradaban Sino dan Muslim.

Menurut Huntington, peradaban Sino di Asia Timur tengah menegaskan diri dan nilai-nilainya dalam kaitan dengan peradaban Barat. Apa penyebab penegasan diri peradaban Sino? Pertumbuhan ekonominya yang cepat. Dia percaya tujuan khusus China dengan bertindak demikian adalah untuk menegaskan kembali dirinya sebagai penguasa regional; negara-negara lain di kawasan itu akan “membutuhkan” China. Mengapa? Sejarah China dan negara-negara itu adalah sejarah tentang struktur komando hierarkis, struktur yang menyiratkan pengaruh ajaran Konfusius (yang menekankan penguasaan diri, kepatuhan pada hierarki sosial, dan ketertiban sosial dan politik)  di balik peradaban Sino. Struktur ini bertolak belakang dengan individualisme (kepercayaan akan pentingnya kedudukan seseorang dalam suatu masyarakat) dan pluralisme yang dinilai tinggi di Barat.

Berbagai Kritik atas Teori Huntington

Teori politik Samuel P. Huntington tentang benturan antarperadaban mendapat berbagai kritik. Ringkasan kritik beberapa di antaranya demikian:
  1. Akar benturan antarperadaban adalah afisiliasi tunggal, seperti penganut Hinduisme yang melawan penganut Muslim di India.
  2. Akar benturan antarperadaban adalah kepercayaan filsafati yang berbeda-beda di antara berbagai kelompok budaya atau agama.
  3. Teori tentang benturan antarperadaban lemah karena menunjukkan suatu geografi yang dibayangkan: setiap struktur peradaban dibayangkan sebagai “terkurung pada dirinya” dan setiap ras memiliki takdir dan psikologi yang khusus.
  4. Teori Huntington menunjukkan suatu taksonomi (asas-asas pengelompokan) yang sederhana dan acak karena mengabaikan dinamika internal dan ketegangan pendukung di dalam suatu peradaban.
  5. Teori itu mengabaikan fakta bahwa ada peradaban yang terpecah-pecah dan menunjukkan sedikit kesatuan internal. Contoh: dunia Muslim yang sangat terpecah-pecah sesuai garis-garis etnik dari orang Arab, Persia, Turki, Pakistan, Kurdi, Berber, Albania, Bosnia, Afrika, dan Indonesia – masing-masing memiliki pandangan dunia yang berbeda-beda.
  6. Teori itu mengabaikan juga fakta bahwa dalam masyarakat Islam secara khusus, konflik timbul antara nilai-nilai agama tradisional dan “modernitas”: nilai-nilai konsumerisme dan dunia hiburan.
Terlepas dari berbagai kritik tadi, karya Samuel P. Huntington dipandang berisi pra-pengetahuan tentang konflik-konflik antarperadaban yang terjadi sesudah serangan teroris di AS 11 September 2001. Konflik-konflik itu mencakup serangan AS ke Afghanistan, pemboman Bali 2002, invasi tentara AS dan sekutunya ke Irak 2003, pemboman kereta api di Madrid 2004, krisis gambar kartun Nabi Muhammad saw 2006, pemboman London 2005, krisis nuklir Iran yang tengah berlangsung, konflik Israel-Lebanon 2006, dan konflik Israel-Gaza 2008-2009.

Masa kini, tesis Huntington tentang benturan antarperadaban bisa dipandang juga sebagai suatu nubuat yang digenapi dengan sendirinya (self-fulfilling prophecy). Gagasannya sudah memengaruhi kaum neo-konservatif (pendukung baru dari mereka yang ingin kembali pada nilai-nilai konservatif) AS sebelum 11 September 2001. Dilaporkan bahwa banyak kelompok Islam radikal di Timur Tengah membenarkan pikiran pokok Huntington tentang benturan antarperadaban.

(Sumber: http://ringkasan-infoiptek21.blogspot.com, diterbitkan di blog ini dengan izin penulisnya)

4. Citra-Citra Alkitabiah dalam Mitologi China

Mitologi China & Kisah Alkitab
Judul: Mitologi China & Kisah Alkitab (Edisi Revisi)

Penulis: J.S. Kwek

Tempat, Penerbit, Tahun: Yogyakarta, Penerbit ANDI, 2006

Non-fiksi

Kategori: KEBUDAYAAN/PERADABAN DAN AGAMA

Mitologi, mitos, dan legenda biasanya dihubungkan dengan kisah-kisah atau gagasan-gagasan yang tidak benar. Tapi ketiga-tiganya punya arti lain. Mitologi bisa juga berarti mitos-mitos kuno pada umumnya; ia juga bisa berarti mitos-mitos kuno suatu kebudayaan, masyarakat, dan seterusnya, yang khusus. Mitos berarti juga suatu cerita zaman kuno, terutama cerita yang dikisahkan untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa alami atau untuk memerikan sejarah awal suatu bangsa. Sementara itu, legenda adalah suatu cerita zaman kuno tentang orang dan peristiwa, yang boleh jadi benar atau bohong.

Lebih dari Mitos, Legenda, dan Adat Istiadat

Penjelasan arti ketiga istilah yang saling berkaitan tadi ada kaitannya dengan edisi revisi sebuah buku karya J.S. Kwek, Mitologi China & Kisah Alkitab (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2006). Apakah arti “mitologi” best seller ini sama dengan arti umumnya tadi? 

Ternyata Kwek, 26, seorang pria keturunan China kelahiran Sumatra yang pada tahun 2006 melanjutkan studinya di Toronto, Kanada, mencakup dalam mitologi lebih dari istilah mitos, legenda, dan adat istiadat. Karyanya mencakup juga karya sastra, ideogram, lembaga sosial, gaya hidup, motif dan simbolisme dalam adat istiadat, dan ritual penyembahan orang-orang China kuno. Karena itu, frasa “mitologi China” yang dimaksudkan Kwek lebih luas cakupannya dari sekadar mencakup mitos, legenda, dan adat istiadat China. Mitologi ini masih dipercayai dan dipraktekkan oleh orang-orang China masa kini, terutama yang belum Kristen.

Berisi Citra-Citra Alkitabiah

Yang mencengangkan saya ialah bahwa mitologi ini berisi citra-citra alkitabiah. Sebagian besar mengacu pada citra-citra Perjanjian Lama. 

Konsep ch’i dan feng shui, misalnya, secara mengherankan mengacu masing-masing pada napas hidup yang dihembuskan Allah ke hidung Adam sehingga dia menjadi makhluk hidup dan sifat-sifat Roh Kudus. Begitu membaca kesejajaran makna antara ch’i dan feng shui di satu pihak dan napas hidup dan sifat-sifat Roh Kudus di pihak lain, saya segera ingat pada ke-10 suku Israel yang terhilang. Dengan satu atau lain cara, mereka diperkirakan sudah memengaruhi mitologi China kuno dan meninggalkan di dalam kebudayaan China kuno kesejajaran makna tadi.

Ternyata saya keliru. Penulisnya kurang yakin kesejajaran makna ini berasal bukan dari pengaruh ke-10 suku Israel yang terhilang melainkan dari salah satu dari ke-12 suku Israel. Dia juga kurang yakin citra-citra alkitabiah dalam mitologi China kuno berasal dari pengaruh para misionaris Barat atau Kaum Jesuit yang masuk ke daratan China pada zaman kekaisaran. Tapi dia tidak menjelaskan mengapa dia kurang yakin pada pengaruh langsung salah satu dari suku-suku Israel kuno ini dan dari para misionaris Kristen dan Katolik dari Barat.

Pewahyuan Allah kepada Leluhur China

Menurutnya, citra-citra alkitabiah dalam mitologi China itu  hasil pewahyuan Allah kepada “leluhur orang China melalui alam semesta ciptaan-Nya dan hati nurani manusia.” Untuk mendukung pikiran dasarnya, dia mengutip tiga bagian bacaan Alkitab. Pertama, Roma 3:29. Atau adakah Allah hanya Allah orang Yahudi saja? Bukankah Ia juga adalah Allah bangsa-hangsa lain? Ya benar. Ia juga adalah Allah bangsa-bangsa lain! Kedua, Roma 2:14-15. Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat (perintah Allah melalui Musa – tambahan J.S. Kwek) oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri. Sebab dengan itu mereka menunjukkan bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi (pewahyuan melalui hati nurani – tambahan Kwek). Ketiga, Kisah Rasul 14:16-17. Dalam zaman yang lampau Allah membiarkan semua bangsa menuruti jalannya masing-masing, namun Ia bukan tidak menyatakan diri-Nya dengan berbagai-bagai kebajikan, yaitu dengan menurunkan hujan dari langit dan dengan memberikan musim-musim subur bagi kamu (pewahyuan melalui alam semesta – tambahan Kwek). Ia memuaskan hatimu dengan makanan (hasil panen – tambahan Kwek) dan kegembiraan. Pendek kata, Allah bagi semua bangsa yang menetapkan hukum-Nya di hati mereka dan mewahyukan diri-Nya pada mereka melalui alam semesta itulah Allah yang mewahyukan diri-Nya juga kepada leluhur orang China.

Kapan Allah mewahyukan diri-Nya pada para leluhur itu? Jauh sebelum Musa berjumpa dengan Yahweh di semak berduri yang menyala-nyala (sekitar 3300-3500 tahun yang lalu); sebelum Jepang, Korea, Taiwan, Hong Kong dan Singapura terbentuk sebagai negara dan sebelum terbentuk juga beberapa peradaban Indo-China; tapi sesudah India ada. Wahyu ilahi itu diturunkan kepada leluhur orang-orang China sekitar 4.000-5.000 tahun yang lalu.

Citra-citra alkitabiah apa saja yang diwahyukan dan melandasi kebudayaan dan peradaban China? Macam-macam. Ini diuraikan dalam 23 bab yang dikelompokkan dalam empat bagian: Akar Peradaban China Kuno, Kenangan China Kuno, Praktek China Kuno, dan Pengetahuan China Kuno. 

Hun Dun mencitrakan pra-Penciptaan dalam Perjanjian Lama

Kisah pra Penciptaan dalam Kejadian 1 Perjanjian Lama dicitrakan oleh Hun Dun yang dilubangi Shu dan Hu. Sebelum Penciptaan ada kekacaubalauan; Hun Dun, suatu tokoh mitologis yang tidak bisa melihat, mendengar, dan bernapas adalah perlambang kekacaubalauan itu. Dia dilubangi setiap hari oleh Halilintar, gabungan Shu dan Hu. Pada hari yang ketujuh, Hun Dun yang digali itu akhirnya hancur atau mati. Dari kematiannya terciptalah langit dan bumi.”Ini merupakan pengetahuan orang China [kuno tentang] kisah Penciptaan menurut Alkitab,” kata J.S. Kwek.

Adam dan Hawa versi mitologi China kuno

Pasangan Adam-Hawa alkitabiah pun ada versinya dalam mitologi China kuno. Pasangan mitologis ini disebut Fu Xi atau Fu Hsi (Adam) dan Nu Wa atau Nu Gua (Hawa). Berbeda dengan Adam-Hawa alkitabiah, cikal bakal bangsa China ini adalah pasangan manusia dewa bertubuh mirip ikan, terkadang ular, dan hidup di zaman pasca air bah.Mirip dengan kisah Penciptaan dalam Kejadian 1, Fu Xi dan Nu Wa diciptakan di Gunung Kun Lun, suatu citra mitologis tentang Taman Eden dalam Kitab Kejadian.

Contoh-contoh tadi berasal dari bagian pertama buku Kwek: Akar Peradaban China Kuno. Contoh-contoh bagian kedua, Kenangan China Kuno, dibatasi pada ch’i dan feng shui. 

Ch’i citra nafas hidup, feng shui citra sifat Roh Kudus

Seperti yang sudah disinggung, ch’i adalah suatu citra mitologis tentang nafas hidup dan feng shui adalah suatu bayangan tentang sifat-sifat Roh Kudus dalam Alkitab. Kejadian 2:7 mengisahkan proses penciptaan manusia pertama, Adam. Dia dibentuk Allah dari debu tanah dan dihembuskan nafas hidupnya oleh Allah ke dalam hidungnya – jadilah dia makhluk yang hidup. 

Tapi ch’i tidak sekadar udara yang kita hirup. Ch’i atau nafas hidup yang dihembuskan Allah ke dalam hidung Adam sebenarnya adalah “Roh Allah”, tulis J.S. Kwek. Ch’i dalam arti spiritual inilah yang dicari-cari para pakar feng shui.

Sayang, ch’i dalam arti spiritual ini tidak lagi utuh dalam diri manusia sesudah Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa. Dia mengalami kematian rohani, kematian yang di dalamnya Roh Allah, roh yang memberi hidup pada tubuh jasmaninya, meninggalkan dia.Oleh para pakar feng shui, Roh Allah atau Ch’i ini mereka identifikasi sebagai energi yang esensial.

Mereka harus mencari kembali Ch’i dalam artian tadi. Ini suatu keharusan upaya yang secara sadar atau tidak mengantisipasi kembalinya Ch’i, yaitu napas hidup atau Roh Allah yang hilang itu, kepada manusia di dalam dan melalui penyaliban dan kebangkitan Yesus. 

Ch’i sebagai Roh Allah begitu penting bagi orang Cina kuno sehingga mereka mengibaratkannya sebagai darah. Tanpa darah, manusia akan mati. Ch’i adalah juga napas atau energi yang akan lenyap ketika manusia mati. Tapi sebagai suatu gambaran Roh Kudus, Ch’i tinggal dan bergerak dalam tubuh orang yang percaya kepada Yesus. 

Dalam sejarah perkembangannya, Ch’i diterapkan dengan berbagai cara. Ch’i menjadi sumber kesembuhan orang Cina. Ilmu kedokteran kuno China mengembangkan ilmu akupunktur yang mengidentifikasi titik-titik darah pada tubuh orang sakit, titik-titik yang disebut “titik peredaran Ch’i” untuk menyembuhkan orang sakit. Ch’i yang diakumulasi dalam diri manusia disalurkan melalui ilmu bela diri atau ilmu olah napas khas China seperti Kung Fu, Chi Kung, dan Tai Chi. Akumulasi Ch’i diyakini bisa menghasilkan kekuatan, kecepatan, dan daya tahan tubuh yang luar biasa.

Sayang, pengetahuan orang China kuno tentang Ch’i sebagai Roh Allah kemudian mengalami degradasi dan penyimpangan makna dan praktek. Mereka yang awam sudah menjadikan Ch’i sebagai tenaga dalam, sejenis energi yang hanya bisa diperoleh melalui meditasi, seperti yang sering dipraktekkan para ahli Kung Fu, Chi Kung, Tai Chi, Yoga, dan beberapa cabang ilmu gerakan Zaman Baru. Ini, kata Kwek, adalah praktek aliran kebatinan yang memberi peluang pada pengaruh Iblis.

Selain sebagai Ch’i, orang-orang China kuno tampaknya paham bahwa Roh Allah, seperti yang disaksikan dalam Alkitab, punya sifat seperti angin dan air. Mereka lalu mencitrakan kedua sifat ini melalui kata feng (angin) dan shui (air). Mengherankan bahwa sifat-sifat feng shui sama dengan sifat-sifat Roh Kudus tadi. Seperti Roh Kudus, feng atau angin tidak kasat mata tapi alirannya bisa dirasakan di mana-mana dan menyegarkan. Seperti Roh Kudus juga, shui atau air memberi hidup, membersihkan, menyegarkan.

Secara praktis, feng shui diterapkan masa kini untuk menetapkan lokasi yang baik dari suatu rumah. Dalam kaitan ini, para pakar feng shui tidak akan menganjurkan lokasi rumah yang punya sha ch’i atau daya bunuh, seperti lokasi “tusuk sate” dari suatu rumah. Lokasi ini punya ch’i yang jahat, yang membawa bencana, kerugian, dan kegagalan.

Sayang, praktek feng shui masa kini sudah menyimpang dari asal usul spiritualnya di masa lampau. Sekarang, feng shui sudah mempraktekkan okultisme, mistisisme, dan penyembahan berhala. 

Ideogram China menyembunyikan pesan Alkitab

Sangat menarik membaca bab 12, bab tentang ideogram China. Tulisan gambar atau huruf gambar China ini sudah dipakai sejak sekitar 5.000 tahun yang lalu.

Ideogram orang China kuno “menyembunyikan pesan-pesan Alkitab yang tidak banyak diketahui orang China modern, tetapi merupakan warisan leluhur bangsa China.” Misalnya, ideogram bahasa Mandarin untuk “lahan” atau “taman” dibaca sebagai tian. Ia citra satu petak tanah yang di dalamnya terdapat sebuah simpang empat. Petak tanah ini adalah kenangan orang China kuno akan sebuah taman yang dialiri empat buah cabang sungai. Tian adalah karakter Mandarin yang memerikan Taman Eden, seperti yang diperikan dalam Kejadian 2:10.

Imlek mirip perayaan Paskah Yahudi

Bagian tiga, Praktek China Kuno, membahas okultisme, adat, dan budaya bangsa China. Suatu hari raya populer golongan China di Indonesia yang sudah saya tahu sejak awal 1960-an adalah Imlek. Tapi tidak sekalipun saya tahu bahwa Imlek punya kemiripan dengan perayaan Paskah Yahudi kuno. Kemiripan inilah yang dijelaskan J.S. Kwek.

Imlek adalah tahun baru orang China. Inti perayaan Imlek adalah pengusiran Iblis, sang ular, roh jahat, kuasa kegelapan dari kehidupan setiap keluarga orang China. Iblis ini diusir dengan memakai berbagai atribut – petasan merah, dui lian (kertas merah dengan kata beruntai), lampion merah, barongsai, dan lain-lain.

Perayaan Imlek mengingatkan kita pada perayaan Paskah Yahudi kuno. Paskah ini adalah tahun baru orang Yahudi. Mirip perayaan Imlek, perayaan Paskah Yahudi bertujuan untuk mengusir malaikat maut.

Warna merah berbagai atribut perayaan Imlek pun mengingatkan kita pada warna merah darah kambing domba dalam perayaan Paskah Yahudi. Ketika masih menunggu dibebaskan Musa dan Harun dari perbudakan di Mesir kuno, umat Israel diminta menyapukan kosen setiap rumahnya dengan darah merah binatang korban tadi. Ketika malaikat maut yang akan membunuh anak sulung keluarga Mesir kuno lewat di depan rumah mereka melihat sapuan darah merah itu, dia (atau mereka) tidak akan membunuh anak sulung keluarga Israel. Mirip dengan Paskah pertama orang Yahudi ini, orang China yang merayakan Imlek menempelkan dui lian – kertas merah – pada kosen pintu untuk mengusir nian, “malaikat maut”, supaya dia tidak memangsa mereka.

Lung mirip malaikat dalam Alkitab

Bagian terakhir, Pengetahuan China Kuno, membahas malaikat, lung (malaikat dalam berbagai bentuk), mutiara api, lambang pemerintahan, phoenix api, unggas versus reptil, dan lung phoenix. Lung menarik untuk dibicarakan lebih lanjut.

Ada kesejajaran peranan malaikat dalam Alkitab dan peranan lung dalam mitologi China kuno. Pertama, kedua-duanya adalah pembawa pertolongan atau berkat dari Tuhan – disebut Shang Ti – kepada manusia. Kedua, kedua-duanya pembawa hukuman atau kutukan dari Tuhan. Ketiga, kedua-duanya adalah penjaga. Keempat, kedua-duanya ikut berperang. Kelima, kedua-duanya bertindak sebagai imam. 

Sayang, konsep lung kuno itu yang sama dengan konsep malaikat dalam Alkitab kemudian bergeser. Sesudah konsep Shang Ti yang monoteistik ditinggalkan dan digantikan dengan konsep politeistik, peranan malaikat zaman kuno berubah. Alih-alih menjadi sumber berkat Allah, lung lalu menjadi pembawa berkat atas namanya. Lung – kemudian menjadi Tatsu di Jepang – berubah peranan menjadi dewa pembawa hujan bagi orang China dan Jepang.

Tujuan Utama Mitologi China & Kisah Alkitab

Apa tujuan utama Mitologi China & Kisah Alkitab? J.S. Kwek secara tidak langsung menjawab bahwa tujuan karyanya adalah untuk menunjukkan suatu “titik pertemuan antara iman Kristen [dan] budaya dan falsafah kehidupan orang China . . .” dan untuk memelihara adat dan kebudayaan China yang sesuai dengan perintah Allah. Boleh dikatakan tujuan ini suatu bagian dari penginjilan kontekstual karena tidak melepaskan Injil dari konteks adat dan kebudayaan China yang dituntun secara alkitabiah.

Ini suatu tujuan yang realistis dan bijaksana. Penginjilan yang menghapus sama sekali kebudayaan suatu bangsa menghancurkan identitas bangsa itu. Ini bukan doktrin alkitabiah tentang kekayaan yang beraneka ragam dari ciptaan Allah.

Masih Ada Tremendous Fascination and Awe?

Meskipun demikian, saya masih belum tahu apakah tujuan utama ini saja efektif untuk menginjili orang-orang China masa kini yang dipengaruhi mitologi kunonya. Suatu pembahasan tentang mitologi yang ingin mencapai tujuan utama tadi menyiratkan suatu asumsi bahwa mitologi masih besar pengaruhnya pada hati, jiwa, dan akal budi orang China, khususnya mereka yang belum menjadi Kristen. Terutama melalui pemahaman tentang kesejajaran makna antara citra mitologis China kuno dalam roh orang China dan citra alkitabiah dalam Alkitab dan pemahaman tentang keunggulan citra alkitabiah atas citra mitologis ini, orang China yang masih dipengaruhi mitologinya diharapkan akan menjadi pemeluk Kristen. Kuasa spiritual yang menggerakkan mereka adalah daya pesona yang menakutkan dan menggentarkan hati (tremendous fascination and awe) dari citra mitologis dan alkitabiah. Mereka akan beralih iman kalau kuasa spiritual dari citra alkitabiah lebih unggul, lebih bermakna, daripada citra mitologis dalam dirinya. Dengan kata lain, suatu pembahasan tentang penginjilan yang memakai mitologi sebagai suatu jembatan komunikasi tidak akan efektif kalau mereka yang dinjili sudah kehilangan kuasa dari mitologinya sendiri. Apakah tremendous fascination and awe ini masih ada dalam diri orang-orang China yang masih dipengaruhi mitologi kunonya? (Celly)