BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Minggu, 15 Juli 2012

25. Alexander Hare dan Selir-Selirnya di Pulau-Pulau Kelapa (6)

Pengganti Ogilvie adalah Thomas (lahir di Banjarmasin 1812), putera sulung Hare, dari Dishta. Meskipun cerdas, Thomas yang lama hidup bersama para budak kekurangan wibawa dan pelaksanaan pertimbangan ayahnya.

Hare akhirnya mencari seorang pengganti Thomas. Hutapea, lelaki muda asal Batak yang baru saja bekerja untuk Hare di pulau-pulau itu, makin sering dilibatkan dalam berbagai urusan.

Kesepakatan untuk mejual harta benda Hare di Kokos kepada Ross akhirnya dicapai. Hare kini dipastikan akan meninggalkan Kokos bersama sisa komunitasnya.

Alexander Hare Meninggal Dunia di Bengkulu

10 Maret 1831. Kapal layar “Hippomenes” meninggalkan pulau Direction. Di geladak kapal, ada tiga puluh penumpang, di luar awak kapal. Mereka mencakup Alexander Hare, Dishta, putera-puteri mereka, tiga dari keempat selirnya, dan sekitar dua lusin budak dan budak wanita. Mereka membentuk rombongan Hare yang berlayar menuju Batavia.

Awal April 1831. “Hippomenes” tiba di Batavia. Meskipun Hare tidak disukai di Hindia Belanda, dia berhasil memperoleh izin tinggal di jajahan Belanda itu. Pemerintah di Batavia bersedia menerima dia dan rombongannya dengan berbagai syarat; di antaranya, dia dan rombongannya harus tinggal jauh dari Batavia.

Jadi, dia meninggalkan Batavia dan menuju Bengkulu, berjarak dua ratus kilometer dari Batavia. Bengkulu menjadi suatu tempat pemukiman orang Inggris antara abad ke-17 dan awal abad ke-19. Stamford Raffles menjadi letnan gubernur Bengkulu antara 1818 dan 1824. Kemudian, Bengkulu beralih menjadi suatu wilayah Kerajaan Belanda di Hindia Belanda. Hare dan rombongannya tinggal di Bengkulu tapi kedua puteranya tinggal di Batavia dan bekerja sebagai pedagang.

Kehidupan yang bergejolak dari Alexander Hare berakhir secara misterius di Bengkulu. Bersama Hutapea, pengawasnya yang baru, mereka melakukan turne lewat hutan Bengkulu. Dalam perjalanan itu, dia menderita demam tinggi selama beberapa hari dan meninggal dunia di hutan. Karena jauh dari tempat tinggalnya, jenazahnya dimakamkan Hutapea di suatu tempat di hutan Bengkulu. Sejak itu, makamnya tidak diketahui.

Kekayaan pribadinya—batangan emas, perak, dan batu-batu mulia—menjadi milik Dishta. Secara finansial, Dishta—janda Hare—tidak perlu kuatir akan masa depannya.

Kekuasaan John Clunies Ross dan Keturunannya

Sesudah Hare dan rombongannya meninggalkan pulau-pulau tempat pemukimannya, John Clunies Ross dan komunitasnya pindah dari pulau Selatan ke Home, bekas markas Hare. Ross tinggal di tengah pemukiman baru itu. Dia mendirikan perumahan bagi tenaga kerja Eropa dan dua kampung untuk karyawan pribumi asal Hindia Belanda: kampung Melayu untuk tenaga kerja utama dia dan mantan tenaga kerja Hare dan juga kampung Bantam untuk tenaga-tenaga kerja yang baru tinggal yang berasal dari Bantam (Banten?) di Jawa Barat.

Home Island wedding Sekelompok penduduk Melayu di pulau Home mengadakan suatu acara pernikahan

Ross lalu menjalankan pemerintahan di Kokos. Dia membawahi sekitar 120 tenaga kerja, mantan budak lelaki dan wanita. Budak-budak wanita itu berasal dari Hindia Inggris (India masa kini), China, Malakka, Sumatra, Jawa, Bali, Sumbawa, Timor, Borneo, Selebes, dan Nieuw Guinea. Semuanya dibawa Hare ke Kokos. Tujuh di antara anak-anak para budak wanita itu hasil perkawinan mereka dengan Hare.

Nama John Clunies Ross akan terikat selama lebih dari seratus tahun dengan kepulauan Kokos atau Keeling. Tahun 1987, John (Cecil) Clunies Ross, salah seorang keturunan Ross pertama dari Kokos, tinggal di Australia. Masih pada tahun 1987, Clunies Ross ke-6, keturunan langsung dari John Clunies Ross, berhasil memadamkan suatu pemberontakan orang-orang Melayu Kokos. Mereka keturunan langsung penduduk Melayu atau penduduk kampung Bantam.

April 1836. Charles Darwin, ilmuwan tenar asal Inggris itu, singgah dengan kapal “Beagle” di kepulauan Kokos. Dia membuat catatan tentang anak-anak yang berpenampilan sintal.

31 Maret 1857. Kepulauan Kokos secara resmi dinyatakan sebagai milik Kerajaan Inggris. John Clunies Ross diangkat sebagai pejabat pemerintah Inggris di Kokos. Tapi Ross, Sr meninggal dunia pada tahun 1854; jadi, pelaksana pemerintahan Inggris di Kokos diteruskan George Clunies Ross, putera Ross.

Kepulauan Keeling Abad ke-20 dan ke-21

1914. Sesudah pecah Perang Dunia Pertama, kepulauan Kokos tiba-tiba menonjol di halaman depan pers dunia. Kapal perang penjelajah “Emden” dari Jerman mencari perlindungan di Kokos sesudah melakukan suatu serangan mendadak terhadap satu kapal perang Rusia dan Perancis di Penang (kini suatu bagian dari Malaysia). Kemudian, “Emdem” ditenggelamkan oleh tembakan meriam “Sydney”, sebuah kapal perang Australia.

Awal PD II, nama Kokos muncul lagi dalam pers dunia. Suatu skuadron pesawat pembom Jepang menjatuhkan dari udara bom-bom di pulau Direction yang tanpa pertahanan terhadap serangan udara. Tujuan pemboman itu untuk menghancurkan stasiun penghubung (pengiriman berita) di kepulauan itu. Tapi kerusakannya sedikit dan Jepang tidak lagi melanjutkan pembomannya di sana.

Angkatan Udara Australia kemudian membangun suatu landasan pacu di Direction untuk pesawat tempur dan pembom. Landasan itu kemudian menjadi suatu stasiun penghubung penting bagi penerbangan dari Perth, suatu kota di Australia, ke Diego Garcia, suatu pulau di Samudera Hindia, tempat Amerika Serikat mendirikan suatu basis Angkatan Udara yang luas. Selama Perang Dingin, Kokos menjadi suatu pangkalan pendukung militer yang penting di Samudera Hindia.

25 November 1955. Pulau-pulsu Kokos secara resmi ditambahkan sebagai suatu kawasan baru pada Australia. Clunies Ross ke-5, meskipun hanya namanya, tetap menjadi penguasa di sana.

Masa kini, pulau-pulau Kokos secara resmi disebut pulau-pulau Keeling. Ia diberi otonomi terbatas oleh pemerintah Australia. Beberapa tahun menjelang tahun 2000, sekitar 200 orang kulit putih, terutama dari Australia, bekerja di bandar udara, stasiun telekomunikasi, dan kantor pos di Keeling.

bendera kokos Bendera kepulauan Keeling

Data 2010 menunjukkan bahwa nama lengkap pulau-pulau Kokos atau Keeling adalah Teritori Pulau-Pulau Kokos (Keeling). Ibu kotanya adalah West Island; dua kota terbesarnya mencakup Bantam (dihuni 662 orang) dan West Island (dihuni 218 orang), total ada 880 orang yang tinggal di kedua kota itu. Tapi jumlah total penduduk Keeling untuk Juli 2010 diperkirakan sebesar 596 orang, 124 orang lebih kurang dari 880 orang tadi. Tidak dijelaskan mengapa jumlah total penduduk kepulauan Keeling di bawah jumlah mereka yang tinggal di kedua kota terbesar tadi. Kelompok etnik yang dominan di Keeling adalah Melayu dan Eropa. Agama Islam dianut sekitar 66,5% penduduk disusul agama Kristen (27,19%), dan Universisme China (0,9%).

coat of arms kokos Lambang Teritori Kepulauan Keeling, “Maju Pule Kita”

******

Rekaan yang Terinformasi

De man die vrouwen verzamelde karya Joop van den Berg bukanlah suatu buku sejarah. Data untuk menulis tentang Alexander Hare sangat sedikit dan pembentukan suatu legenda tentang dia sangat besar. Karena itu, penulis memakai serangkaian informasi historis yang tepat, lalu menghasilkan semacam penuturan kembali tentang apa yang diperkirakan terjadi di kepulauan Kokos. Fakta dan rekaan berlaku.

Bentuk penuturan seperti ini disebut oleh Peter Ackroyd sebgai “rekaan yang terinformasi (informed fiction)”.  Dengan mengandalkan bentuk penuturan ini, Joop van den Berg berharap fakta historis dan imajinasi bisa menghasilkan suatu cerita yang bisa dipercaya.

Kalau penerapan rekaan yang terinformasi memanfaatkan data sejarah yang keliru, maka penulisnya bisa menghasilkan anakronisme atau kesalahan kronologis. Dengan kata lain, ada sesuatu dari kurun yang berbeda.

Anakronisme

Kisah tentang budak-budak wanita Hare yang memakai gelang-gelang rotan boleh jadi adalah suatu anakronisme. Hare, menurut tulisan van den Berg, mendapat ilham tentang gelang ini dari suatu suku di pedalaman Nieuw Guinea. Tidak dijelaskan dari kawasan khusus pedalaman yang mana. Sejarah menunjukkan bahwa kawasan pedalaman apa yang sekarang bernama Papua dan Papua Barat baru terbuka pada dunia luar awal abad ke-20. Padahal Alexander Hare yang dikisahkan hidup awal abad ke-19. Tapi kalau tradisi ini ada pada suku pedalaman di Papua New Guinea—sekarang bernama Papua Nugini—semasa hidup Hare, anakronisme tadi tidak berlaku.

Mengherankan untuk mengetahui bahwa salah seorang selir Hare adalah seorang budak wanita dari Biak. Lazimnya, budak-budak dari Nieuw Guinea adalah laki-laki yang dipekerjakan oleh kesultanan Tidore atau Ternate di Maluku Utara beberapa abad yang silam. Mereka sering berasal dari Raja Ampat, suatu pemukiman imigran-imigran asal Biak selama berabad-abad. Kemungkinan budak wanita dari Biak milik Hare berasal dari Raja Ampat. Tapi bagaimana dia sampai dimiliki Hare tidak dijelaskan oleh van den Berg. Hare tidak ke Tidore atau Ternate; jadi, kemungkinan wanita dari Biak itu diperjual-belikan melalui tangan lain sebelum dia dibeli Hare.

Bacaan Sejarah Mirip Novel

Meskipun demikian, buku tulisan Joop van den Berg sangat menarik untuk dibaca. Bukunya ditulis seperti suatu novel yang memikat. Pembaca pun menjadi makin tahu tentang suatu kepulauan di Samudera Hindia bagian selatan yang pernah punya suatu hubungan sejarah dengan Hindia Belanda karena Alexander Hare dan masih punya hubungan sejarah itu karena penduduk Melayu yang berasal dari Hindia Belanda dan yang keturunannya masih tinggal di sana.

Menjadi menarik juga untuk mengetahui apakah ketiga belas budak wanita yang menjadi selir-selir Hare—di luar Dishta—masih punya keturunan yang tinggal di Keeling masa kini atau tidak. Kalau memang ada, akan menjadi menarik untuk mengetahui apakah selirnya dari Biak (Nieuw Guinea), Timor, Bali, Sunda, dan lain-lain masih punya keturunan di Keeling masa kini atau tidak.

Jumat, 13 Juli 2012

24. Alexander Hare dan Selir-Selirnya di Pulau-Pulau Kelapa (5)

Hilangnya Mukina secara tiba-tiba tampaknya membuka suatu zaman baru tidak hanya  bagi wanita-wanita yang paling dicintai Hare. Itu juga membuka suatu zaman baru bagi budak-budak yang bekerja di luar dan di dalam rumah Hare. Mereka makin menyadari pintu ke arah kebebasannya mulai terbuka, di antaranya dengan melarikan diri secara diam-diam lalu menjadi penumpang gelap pada kapal-kapal asing yang makin sering singgah di Kokos.

cocos keeling islands Suatu foto NASA menunjukkan kepulauan Kokos (Keeling) dari luar angkasa

Pintu Kebebasan Makin Terbuka

Sesudah hilangnya Mukina, suasana di antara wanita-wanita Hare tidak lebih baik. Hukuman jasmani yang dilakukan Hare makin kurang berpengaruh. Kebanyakan wanita itu menunjukkan kebencian dan omelan kepada Tuan Besarnya.

Tahun 1829, tahun ketiga Hare tinggal di Kokos, adalah tahun jumlah bawahannya makin menurun. Mutu kerja budak-budak yang bekerja, terutama pada beberapa pulau kecil, makin merosot; mereka juga melakukan perlawanan fisikal. Suasana konflik seperti itu diperkuat dugaan Hare bahwa beberapa di antara budak-budak itu menyelundupkan kopra ke orang-orang Ross di pulau Selatan. Hubungan antara Hare dan bawahannya, termasuk para budak wanitanya, sudah berkembang ke arah konflik.

Makin lama keadaan yang berkembang di antara bawahannya makin buruk karena kebijakan Hare. Dia, misalnya, menetapkan pengurangan jatah makanan bawahannya sambil menunggu kembalinya “Hippomenes” dari Batavia dengan perbekalan makanan yang baru. Akan tetapi, kebijakan ini menimbulkan kemarahan mereka. Selain itu, dia mewajibkan anak-anak berusia lima tahun bekerja bersama orang tua mereka dan memenjarakan mereka kalau mereka mengabaikan kewajibannya. Kebijakan ini pun mendapat protes keras. Dua orang anak berusia lima tahun yang mengabaikan kebijakan Hare dipenjarakan; penjara itu diisi seorang pemuda asal Jawa yang mencoba mendekati salah satu dari ketiga belas selir Hare. Kebijakan Hare tidak populer di antara  bawahannya.

Kebijakannya mulai membuat wibawanya merosot. Hanya dalam satu hari, separuh tenaga kerjanya di bagian utara Honsburgh minggat. Mereka pindah ke pulau Selatan yang dihuni Ross.

Ross menerima mereka sebagai tenaga kerja. Menurut ceritanya pada Ross, mereka diperlakukan dengan buruk dan begitu lapar sehingga Ross, seorang Kristen yang taat, berkewajiban memberi mereka tumpangan dan makanan. Begitu Hare siap memberi mereka makanan yang layak, dia akan mengirimkan mereka kembali padanya.

Pesan Ross menyadarkan Hare bahwa jalan ke arah pembebasan bagi budak-budaknya terbuka lebar. Makin banyak tenaga kerja dia pindah ke pulau Selatan.

Tapi Hare masih punya kebijakan lain yang dia harap akan menghentikan niat selanjutnya dari bawahannya untuk meninggalkan dia. “Hippomenes” kembali sesudah beberapa minggu dari Batavia dengan membawa beras dan barang-barang kebutuhan lainnya bagi Hare dan komunitasnya di Kokos. Jatah makanan nasi yang tadinya dikurangi sekarang ditingkatkan; selain itu, budak-budak wanita diberi gulungan kain katun untuk dibuat menjadi pakaian. Akan tetapi, perbuatan baik Hare ini pun tidak berpengaruh pada mereka. Kejengkelan mereka terhadap kebijakannya yang keras tampak makin berkembang.

Hare Ingin Pindah ke Tempat Lain

Hubungan antara atasan dan bawahan macam ini ikut membuat Hare mulai merasa tidak aman. Kapan saja, dia bisa menghadapi ancaman terhadap keselamatan hidupnya. Demi keamanannya, dia tidak lagi melakukan pelayaran sepanjang kawasan pulau-pulau Kokos. Dia selalu ditemani Ogilvie atau Hutapea, seorang lelaki muda yang kuat asal Batak. Hutapea menumpang “Hippomenes” dari Batavia ke Kokos untuk menjadi seorang buruh lepas. Dia makin berperan sebagai seorang pengawal pribadi Hare. Dia dan Ogilvie selalu membawa pistol yang siap ditembak dan diselipkan di sisi dalam ikat pinggang mereka.

Agustus 1828. Dua orang budak wanita, Nyo An dari Kanton dan Arsia dari Bali, menolak menemani Hare untuk perjalanan plesirannya yang makin berkurang ke pulau Amstrong. Mereka mau asal dilakukan di dalam perahu mayang.

Penolakan seperti itu belum pernah terjadi dan itu membuat Hare berang. Dia menghajar kedua wanita itu begitu keras sehingga mereka berdua hampir mati dan membiarkan mereka tergeletak di pasir. Sesudah kembali dari perjalanan plesiran itu, kedua wanita itu menghilang; mereka dilaporkan tinggal di kampung Selma.

Hare minta mereka berdua dikembalikan, tapi Ross—pendiri kampung Selma—menolak permintaan itu. Dia punya kewajiban Kristen untuk menampung kedua wanita itu dan mertua perempuannya ingin mendidik mereka berdua yang masih muda itu menjadi pembantu rumah tangga. Hare sangat terguncang hatinya oleh rencana mertua perempuan Ross.

Dia makin menyadari pentingnya rencana dia pindah ke tempat lain. Keinginannya yang paling kuat adalah pindah dan tinggal di Hindia Belanda.

Tahun 1831 adalah benar-benar tahun bencana bagi Alexander Hare. Koloni budak-budaknya makin mengecil dan itu lebih menguntungkan mereka. Kemudian, dia mendapat kabar dari London bahwa perusahaan ekspor saudara-saudaranya bangkrut.

Tapi Hare hampir tidak punya kepentingan keuangan dengan perusahaan itu. Dia memutuskan hubungannya dengan perusahaan itu sesudah dia tinggal di Kokos. Tanpa perusahaan itu, dia masih seorang kaya: dia punya batangan emas, perak, dan batu-batu mulia. Kekayaannya dia simpan dalam dua peti uang yang dibuat dari besi; kedua peti besi itu disimpan di bawah tempat tidurnya di Kokos.

Sementara itu, John Clunies Ross mulai bertindak seperti seorang raja muda di pulau-pulau Kokos. Para kelasi kapal-kapal asing yang singgah di situ memperlakukannya demikian.

Hare, sebaliknya, melarang penumpang kapal asing mendarat di pulau-pulau “dia”. Sebagai akibat larangannya, dia makin dikucilkan oleh dunia luar. Paling tinggi, mereka mengabaikannya.

Ini ditambah lagi dengan prospek perekonomian yang suram di Kokos. Penjualan minyak kelapa, satu-satunya produk andalan bagi perekonomian Kokos, sangat merosot. Para pedagang di Batavia dan Singapura menawarkan harga beli yang makin murah dari minyak kelapa itu.

Lalu, suasana pemberontakan budak-budak Hare membuatnya makin kuatir. Sabotase dan penolakan untuk bekerja, termasuk sikap melawan wanita-wanita simpanannya,  muncul makin sering.

Juni 1831. Ogilvie, pengawas yang melayani Hare selama lebih dari dua puluh tahun, tidak muncul di pulau Beras. Dia ditemukan meninggal dunia di bangku tempat dia beristirahat. Tidak diketahui penyebab kematiannya.

Agustus 1831. Sarinten Jagolan, wanita Sunda; Kadarmina, wanita Batak; dan Nlaya, wanita Tanah Zulu, melarikan diri, diduga secara serentak. Yang mereka tinggalkan sebagai tanda bercerai dengan Hare adalah potongan-potongan gelang rotan di lengan kanan bagian atas.  Diduga mereka mendapat bantuan dari luar untuk melarikan diri. Tinggal sekarang tujuh selir Hare di bawah pengawasan Dishta.

Sarinten Jagolan adalah suatu hadiah seorang pangeran Priangan di Jawa Barat. Dia menjadi suatu imbalan dari pangeran itu kepada Hare yang memberinya sejumlah besar ganja.

Keputusan untuk Meninggalkan Kokos

Tekanan terhadap kehidupan Hare menjadi bertambah. Dia tidak saja kehilangan tiga orang selirnya. Dia juga sangat kehilangan Ogilvie. Kematian pengawasnya yang setia adalah suatu pukulan yang sangat berat baginya. Tanpa dia, Hare membayangkan suatu masa depan yang sulit di Kokos.

Home Island welcome Suatu pemberitahuan dalam bahasa Inggris dan Melayu khas Kokos di pulau Home

Menjelang satu pekan sesudah kematian Ogilvie, Hare—sekarang berusia lima puluh tahun—memberitahu Ross lewat sepucuk surat bahwa dia bersedia meninggalkan Kokos. Asal Ross bersedia membeli semua harta bendanya. Sementara itu, sebagian besar tenaga kerja dia sudah pindah ke Ross. (Bersambung)

Kamis, 12 Juli 2012

23. Alexander Hare dan Selir-Selirnya di Pulau-Pulau Kelapa (4)

Februari 1827. “Borneo”, sebuah kapal layar bertiang tiga, berbobot sekitar empat ratus ton tiba dekat pulau Horsburgh. Kapal itu dibuat di Banjarmasin ketika Hare masih residen komisioner di sana. “Borneo” salah satu dari armada perdagangan Hare sendiri yang pernah dia miliki.

Horsborough Island Suatu peninggalan PD II di pulau Horsburgh masa kini

Koloni Inggris di Kepulauan Kokos 

Kapten kapal itu John Clunies Ross, seorang pelaut asal Skotlandia dan dari keluarga yang baik. Dia seorang kepala keluarga yang baik, seorang Kristen yang taat, dan bahkan terpelajar. Pemerintah Hindia Belanda yang mengenalnya menjulukinya “pelaut yang [pembawaannya] terbuka dan komplit”. Ross pernah menjadi kapten “Borneo” di Hindia Belanda dan seorang “pengawas” ketika Hare menjadi residen komisioner di Borneo.

“Borneo” akhirnya berlabuh di pulau Direction. Geladaknya sesak dengan barang-barang. Penumpangnya mencakup seluruh keluarganya, mertuanya yang saleh, seorang ibu guru anak-anak, seorang koki asal Portugal, dua orang tukang dari Jawa, lima anak lelaki yang masih sekolah, dan sepuluh lelaki muda asal Inggris. Kesepuluh lelaki muda itu terdiri dari tukang kayu, pembuat kapal, dan pembuat senjata.

Hare tahu Ross ke Kokos untuk tinggal di sana. Ross benar-benar ingin mendirikan suatu jajahan sejati Inggris di pulau-pulau itu.

Hadirnya John Clunies Ross dan Alexander Hare dengan kepentingan yang berbeda-beda akan menghasilkan dua penguasa yang berbeda pula di Kokos. Ross ingin mendirikan suatu koloni Inggris di pulau-pulau itu. Hare, sebaliknya, ingin dibiarkan tinggal bersama keempat belas budak wanitanya tanpa diganggu di Kokos.Kemudian, Ross berencana membujuk kapal-kapal asing sebanyak-banyaknya agar singgah di pulau-pulau lain. Hare, sebaliknya, ingin ketenangan sebanyak-banyaknya dan menghindari setiap kunjungan orang asing. Pengunjung pulau-pulau Kokos tahun 1828, setahun sesudah Ross tiba, mengatakan kedua penguasa itu tidak mau berurusan satu dengan yang lain.

Nama John Clunies Ross akan terikat pada kepulauan Kokos selama lebih dari seratus tahun. Keturunannya akan tinggal dan memiliki kekuasaan atas nama Kerajaan Inggris sampai dengan abad ke-20.

Golf Club Jalan Clunies-Ross dan penjelasan tentang John Clunies Ross sebagai pemukim permanen pertama di Kepulauan Kokos 1827

John Clunies Ross lahir di Skotlandia 1786, putera seorang guru sekolah dasar desa. Sesudah menjadi seorang pelaut dengan berbagai pengalaman di Hindia Belanda, dia berjumpa dengan Alexander Hare di Batavia 1812. Pada tahun itu, Raffles menunjuk Hare menjadi residen komisioner di Banjarmasin. Ross diminta Hare menolongnya menjalankan pemerintahan Inggris di Banjarmasin, suatu permintaan yang dijalankannya dengan baik.

1820. Ross kembali ke Inggris, menikah, lalu berlayar untuk Perusahaan Dagang Hare di London. Perusahaan itu dimiliki dan dikelola saudara-saudara Alexander Hare.

3 September 1827. “Borneo” kembali ke Inggris tanpa John Clunies Ross sebagai kaptennya. Sejak tanggal itu, Kokos dihuni dua orang penguasa. Ross dan rombongannya tinggal di pulau Selatan; pulau itu luas dan cocok sebagai suatu tempat tinggal yang permanen. Pulau itu tidak berpenghuni. Panjangnya sepuluh kilometer dan punya dua sumber air tawar.

Ketenangan yang Makin Terusik

Sebelum kembali ke Inggris, “Borneo” dengan Ross sebagai kaptennya berlayar ke Batavia untuk berbelanja barang-barang yang  dibutuhkan di pulau Selatan. Sementara itu, gangguan pertama terhadap ketenangan di pemukiman Hare terjadi. Kesepuluh lelaki muda asal Inggris itu yang berbulan-bulan lamanya tinggal di kapal “Borneo” selama pelayarannya dari Inggris ke Kokos lewat Afrika Selatan menjelajahi pulau tempat Hare dan rombongannya tinggal untuk mencari tahu apakah ada juga wanita-wanita muda di sana. Mereka akhirnya menemukan seorang lelaki eksentrik asal Inggris yang tinggal bersama selusinan wanita yang cantik. Mereka mencoba berhubungan dengan wanita-wanita itu. Budak-budak wanita itu tampak tidak menolak pendekatan lelaki muda itu. Selir-selir itu melihat Hare sebagai seorang penguasa kejam atas tubuh dan jiwanya, suatu sikap yang tidak mereka sukai tapi yang tidak bisa mereka elakkan karena mereka tanpa daya. Tapi mereka terkadang tampak paling siap melakukan petualangan dengan anggota-anggota komunitas Ross, seperti para pemuda tadi. Petualangan cinta mereka akan membuyarkan keinginan Hare akan ketenangan bersama selir-selirnya.

Segera sesudah kedatangan Ross dan rombongannya, Hare menghentikan perjalanan plesiran bersama budak-budak wanitanya ke pulau-pulau terpencil. Ini dia lakukan karena sebelumnya perahu mayang yang dia pakai untuk plesiran bersama selir-selirnya dibuntuti sebuah sekoci berisi lelaki muda asal Inggris; ada yang memakai teropong laut untuk mengamati dari jauh apa yang Hare lakukan dengan budak-budak wanitanya di pasir putih suatu pulau terpencil.

Mukina Dipecut

Salah seorang pemuda itu dipergok Hare di bawah sebatang pohon kelapa. Dia berhasil mengintip wanita-wanita Hare yang pergi ke kamar kecil.

Hare mencoba menakut-nakuti lelaki itu dengan tembakan pistol berkali-kali ke udara. Tapi itu tidak banyak manfaatnya.

Kejadian itu menggemparkan budak-budak wanita itu. Timbul pergesekan di antara mereka. Mukina, budak wanita dari suku Bugis, ketahuan absen dari tempat tinggalnya selama satu hari.

Ketika kembali, dia mendapat hukuman dari Tuan Besar. Dia dipecut—dengan memakai cambuk yang dibuat dari kemaluan sapi jantan yang dikeringkan—sebanyak lima puluh kali.Darah mengalir di punggung Mukina sementara dia menangis minta ampun.

Peresmian dan Rencana Pembangunan Koloni

4 November 1827. John Clunies Ross dan komunitasnya mengadakan upacara peresmian kepulauan Kokos sebagai suatu koloni Inggris. Seperti yang sudah dijelaskan, Alexander Hare lebih suka kepulauan itu digabungkan pada Hindia Belanda. Yang penting baginya, semakin sedikit kapal yang singgah di pulau-pulau itu semakin baik baginya untuk melanjutkan—tanpa gangguan dari luar—plesiran dengan budak-budak wanitanya.

Tapi keinginannya makin sulit untuk dilaksanakan. Kokos makin dikunjungi kapal-kapal dan orang-orang. Termasuk mereka yang mengunjungi pulau Direction, tempat Hare dan selir-selirnya tinggal.

Sementara itu, hubungan antara Hare dan Ross makin buruk. Mereka hampir tidak berbicara antara mereka berdua. Yang masih saling berbicara adalah para pengawas kedua penguasa asal Inggris itu.

Dalam suasana hubungan seperti itu, Ross ingin melaksanakan rencana besarnya dengan pulau-pulau Kokos: membangunnya menjadi suatu koloni yang sejati dari Kerajaan Inggris. Makin banyak karyawan dibutuhkan untuk melaksanakan rencananya. Setiap kapal yang tiba dari Batavia membawa buruh-buruh lepas; mereka tertarik oleh imbalan yang besar untuk melakukan pekerjaan ilegal di Kokos.

Mengapa pekerjaan mereka dinilai ilegal? Orang luar Hindia Belanda dilarang memakai tenaga kerja di kawasan Hindi Belanda. Tapi di Batavia abad sebelumnya, peraturan seperti itu—dan banyak peraturan lainnya—diabaikan.

Mukina Lenyap

Buruh-buruh pribumi dari Hindia Belanda itu menambah keresahan khususnya bagi Hare di pulau-pulau itu. Seorang lelaki berusia muda dan bekerja sebagai tukang untuk Ross dan berasal dari Madura, bernama Min si Jahat, terus berusaha mendekati salah satu selir yang paling dicintai Hare. Dialah Marona dari Tanah Basuto.

Dengan sebilah parang yang tajam yang diselipkan di sisi dalam sabuk yang dilingkari di perutnya, dia menyelinap malam-malam keliling rumah tempat Hare dan selir-selirnya tinggal. Kehadiran orang asing itu tidak disukai Hare. Dia menyadari bahwa selama tidak ada kewibawaan yang terpusat di Kokos, pintu ke arah tindak pidana terbuka lebar.

Suatu kabar mengejutkan sampai di telinga Hare. Mukina, budak perempuan dari suku Bugis itu, lenyap serentak dengan berlabuhnya sebuah kapal Inggris dekat pulau Direction.

Hare menduga Mukina yang sudah diberi lima puluh pecutan itu bersembunyi sebagai seorang penumpang gelap di kapal Inggris itu. Segera sesudah itu, kapal itu meninggalkan Kokos menuju Singapura.

Hare harus berusaha sekarang menjaga kedua belas budak wanitanya. Apakah mereka akan tetap bersama dia atau melarikan diri juga? (Bersambung)

Selasa, 10 Juli 2012

22. Alexander Hare dan Selir-Selirnya di Pulau-Pulau Kelapa (3)

Bagaimana dengan “Hippomenes” yang sekarang berlabuh dekat pulau Direction sesudah para penumpang dan muatan lain di dalamnya diturunkan di pulau-pulau yang sudah dipilih Hare? Kapal layar kecil itu akan tetap dipakai selama dia dan rombongannya tinggal di Kokos.

Direction Island Pulau Direction

Sesudah dikosongkan, Hare mengirim Ogilvie bersama kapal itu ke Batavia. Tugasnya: membeli sebuah mesin pemroses daging kelapa tua menjadi minyak goreng, mengadakan kontak tentang pembelian minyak kelapa yang dihasilkan di Kokos, membawa pulang kebutuhan mereka di Kokos (beras, kambing, domba, babi, dan tanah menanam yang subur untuk menyuburkan tanah pertanian di tempat pemukiman Hare), dan menyerahkan sepucuk surat Hare kepada seorang perantara pemerintah di Batavia yang di dalamnya Hare meminta izin tinggal lagi di Hindia Belanda.

Tentang permintaan izin tinggal tadi, dia tampaknya sudah merasa kepulauan Kokos bukan tujuan terakhir kehidupannya yang bergejolak. Dia barangkali sudah tahu cepat atau lambat kepulauan Kokos akan dikuasai entah Inggris entah Belanda. Untuk alasannya sendiri, seperti keinginannya beristirahat bersama keempat belas selirnya di Kokos, dia cenderung kepada pemerintah Belanda sebagai penguasa kepulauan itu. Dia juga barangkali gelisah memikirkan kembalinya John Clunies Ross ke Kokos.

Selama dia menjadi penguasa tunggal dan tinggal di Kokos, dia ingin juga berplesiran dengan selir-selirnya di pulau-pulau terpencil tertentu yang sudah diamatinya. Untuk itu, dia akan pergi ke sana dengan memakai sejenis perahu buatan pribumi Hindia Belanda yang disebut perahu mayang. Perahu itu ditinggalkan Hill Gibson, seorang kelasi Inggris yang sudah tinggal bersama beberapa orang pribumi asal Hindia Belanda di pulau West selama setahun. Dia pernah berjumpa dengan Hare di “Hippomenes” tapi kemudian meninggalkan pulau West. Panjang perahu itu sekitar dua belas meter dan bisa memuat sekitar selusin orang.

Rencananya akhirnya dilaksanakan untuk pertama kali. Tapi yang mendayung perahu itu bukan laki-laki melainkan beberapa orang budak wanitanya. Perahu itu bisa didayungi tiga pasang wanita itu pada setiap sisi luar badan perahu itu. Mereka berdayung lewat sebuah laguna yang airnya tenang dan tidak berombak. Hare tidak berdayung tapi duduk di buritan yang lebih tinggi sambil memandang ke bawah pada selir-selirnya yang tengah mendayung.

laut kokos Suatu pantai dan laut yang biru dan jernih dengan perahu bermotor tempel di suatu pulau di Keeling masa kini

Dia bisa menikmati perbedaan-perbedaan lahiriah yang menonjol dari semua budak wanita itu yang berasal dari berbagai kawasan di Asia Tenggara. Dia memerhatikan rambut keriting yang lebat dari budak wanitanya asal Biak di Nieuw-Guinea dan tahu bahwa rambut itu memiliki struktur yang begitu padatnya sehingga butir-butir air  bagai mutiara yang mengkilap akan tampak di atasnya. Sementara itu, air laut akan memberi kilauan yang lebih dalam pada ikal rambut biru hitam yang panjang dari kekasihnya asal Timor. Tak bosan-bosannya dia menikmati perbedaan warna kulit selir-selirnya, dari warna kayu eboni hitam yang mengkilap sampai dengan warna kulit wajah coklat muda.

Hare tetap di perahu itu ketika wanita-wanitanya masuk ke hutan pulau yang disinggahi untuk memakai pakaian mandi. Lalu, mereka keluar dari balik dahan-dahan, sama sekali bugil kecuali memakai kain sarung berwarna-warni yang sebentar akan diikat keliling dadanya. Terkadang, mereka berdiri sebentar dengan sebagian tubuhnya di atas permukaan air laut; kemudian, dengan gerak yang luwes, mereka berjalan memasuki air laut yang jernih itu. Kain sarung yang  sudah mereka ikat keliling dada menjadi basah, seakan melekat dalam lekukan-lekukan di sana-sini pada tubuhnya. Keadaan ini mengakibatkan payudaranya yang bundar tampak makin besar di atas perutnya yang lunak dan pahanya yang miring sedikit.

Dengan gerak tubuhnya yang hampir alami dan rambutnya yang sering disanggul, mereka berjalan memasuki air laut sampai sebatas bahunya. Dengan gerak tubuh yang mirip antara mereka, budak-budak wanita itu melepaskan kain sarungnya, kemudian seaka-akan melangkah keluar dari air laut dan melipat kain sarung itu dan memegangnya di tangan kiri.

Beberapa orang budak wanita itu tahu apa yang diinginkan Tuan Besar. Mereka berbaring terlentang dan dengan ayunan tangan yang malas membiarkan diri dibuai di atas empasan ombak yang teduh sambil memamerkan kecantikan tubuhnya di bawah laut yang jernih sekali dari laguna itu. Kalau, menurut penilain majikannya, mereka sudah berenang cukup lama, mereka membalikkan urutan upacara plesiran itu.

Masih di bawah air laut, mereka mengikat kain sarungnya keliling pinggang. Barulah tubuh bagian atas dinaikkan ke luar air laut dan, sementara berjalan ke semak-semak yang lebat, sanggul dilepaskan sehingga rambutnya tergerai.

Terkadang, beberapa orang budak wanita berupaya mengambil hati Hare. Mereka berpura-pura tersandung karena sesuatu di pantai pasir dan tanpa sengaja mengakibatkan sarung terlepas. Sekejap mereka berdiri dengan punggung menghadap perahu, dalam keadaan sama sekali bugil. Yang paling brutal di antara mereka berlagak kehilangan sesuatu, membalikkan badan secara cepat, dan melihat langkah kakinya sendiri di pasir sambil melihat ke bawah.

Kalau menurut mereka upacara itu sudah berlangsung lama, mereka berbalik sambil memasang kain sarung sebagai hiasan dan berjalan menuju semak-semak. Kalau wanita-wanita itu lenyap dari pemandangan, Hare melompat dari buritan dan berjalan menuju pantai.

Kebanyakan budak wanita itu melakukan tindakan seksual di hutan tanpa menampakkan emosi apa pun. Meskipun demikian, plesiran dengan tuannya dipandang suatu pergantian suasana hidup yang disambut di tempat tinggalnya yang gelap di rumah Hare.

cocos islands annual lagune swim Berenang tahunan di laguna Kokos masa kini; tampak orang-orang berkulit putih

Sesudah beberapa minggu, “Hippomenes” kembali dari Batavia dengan membawa kebanyakan barang yang sudah dipesan. Dari sedikit yang tidak dipesan secara resmi adalah pesanan rahasia dari seorang budak wanita Hare.

Awak kapal itu melakukan juga pembelian menurut caranya sendiri. Sarinten Jagolan, budak wanita asal Sunda dan yang paling cantik di antara keempat belas selir Hare dan juga memakai gelang rotan di lengan kanan atasnya, diam-diam sudah membeli lewat seorang kelasi pribumi sekantong kecil rempah-rempah yang mahal pada seorang penjual obat-obat tradisional di Bogor. Itu buah-buahan dan dedaunan yang dikeringkan, suatu obat mujarab untuk menggugurkan kandungan.

Sarinten, dan banyak budak wanita lainnya, tidak mau melahirkan anak untuk tuannya yang berkulit putih. Karena nasibnya, mereka menerima statusnya sebagai gadis-gadis penghibur bagi tuannya asal Inggris. Tapi mereka tidak sudi melahirkan anak-anak dari tuannya dan tetap menjadi budak-budak.

(Bersambung)

Minggu, 08 Juli 2012

21. Alexander Hare dan Selir-Selirnya di Pulau-Pulau Kelapa (2)

Pulau Direction, tempat “Hippomenes” berlabuh, tidak begitu luas. Panjangnya sekitar satu setengah kilometer dan lebarnya sekitar dua ratus meter.

Orang-orang Asia Tenggara yang mengunjungi pulau itu dan pulau-pulau Kokos lainnya sering berasal dari Bantam (Banten?) dan tempat lainnya di Jawa bagian selatan. Dalam buku tulisan Joop van den Berg, mereka disebut orang-orang Melayu.

Mereka menyebut pulau Direction pulau Tikus. Itu disebut demikian karena sejenis tikus yang agresif—berasal dari ruang berbagai kapal yang singgah atau berlabuh di situ—pernah tinggal di pulau itu. Hewan pengerat itu memakan habis apa pun yang bisa mereka makan.

Sering ditemukan nama-nama Inggris, Belanda, dan Melayu pada banyak pulau lainnya. Penamaan ini menunjukkan bahwa ada semacam garis pemisah imajiner antara bagian Inggris dan Belanda.

Sementara berlabuh di Direction, Hare dan James Ogilvie, pengawasnya yang setia, mencari tempat tinggal yang layak bagi dia dan rombongannya. Ogilvie adalah seorang lelaki peranakan berayah Inggris dan beribu Tamil dari Ceylon—kini Srilanka—dan sudah bekerja selama lebih dari dua puluh tahun untuk Hare. Mereka berdua memakai pedayung-pedayung asal Jawa untuk menjelajahi pulau tempat mereka akan tinggal. Akhirnya, pilihan jatuh pada Home, salah satu pulau Kokos.

Pembangunan Pemukiman

Mengapa kawasan itu disebut pulau-pulau Kokos? Suatu sumber 1832 mengatakan ada sekitar 420.000 pohon kelapa di seluruh pulau itu.

direction island banner Suatu pantai berpasir putih bersih dengan laut biru yang jernih, berselimutkan pohon-pohon kelapa dari suatu pulau di kepulauan Keeling

Hare sudah membayangkan bagaimana memanfaatkan buah-buah kelapa yang sangat berlimpah-limpah di Kokos. Itu akan menjadi suatu sumber ekonomi. Dari daging kelapa tua, dia bisa menghasilkan kopra dan minyak kelapa, seperti yang dia tahu dari kehidupannya di Hindia Belanda. Usaha kopra dan minyak kelapa ini perlu untuk memberi pekerjaan pada budak-budaknya dan membuat mereka sibuk supaya mereka tidak menimbulkan kesulitan kemudian hari kepadanya. Tapi harapannya tidak akan berjalan sesuai rencana.

Apa yang dibangun di Home? Rumah Hare, gudang-gudang tempat daging kelapa akan dijadikan minyak goreng, dan gubuk-gubuk para pekerja wanita  dibangun di situ. Pada pulau kecil lain di kejauhan, Hare membangun gudang penyimpanan barang-barang yang dia bawa dari Capetown: beras, kacang-kacangan, daging babi yang sudah diawetkan, buah-buah anggur yang dikeringkan, dan lain-lain. Pekerja-pekerja lelaki—termasuk budak-budak lelaki--membangun tempat tinggalnya di  pulau West dan Horsburgh; sementara itu, Ogilvie membangun rumahnya sendiri dekat teluk pulau Direction.

Berapa jumlah total rombongan yang mengikuti Hare dari Afrika Selatan? Sekitar delapan puluh orang. Sebagian besar anggota rombongan itu berasal dari Jawa, Lombok, Bengkulu, dan Afrika Selatan. Jumlah lelaki dan anak-anak masing-masing sebanyak dua puluh lima orang. Ada sekitar dua puluh wanita, kebanyakan ibu anak-anak itu, berasal dari berbagai kawasan di Asia—India, Malakka, China, Jawa (termasuk Jawa Barat), Bali, Lombok, Bugis, Timor, dan Nieuw-Guinea (kini Papua dan Papua Barat)—dan Afrika Selatan. Semuanya cantik.

Milik Kerajaan Inggris

9 Desember 1825. Pada tanggal ini, kepulauan Kokos dinyatakan untuk pertama kali oleh John Clunies Ross sebagai milik Inggris. Kapten kapal layar “Borneo” itu menyatakan kepemilikan itu atas nama Kerajaan Inggris pada tanggal tadi.

Semasa Hindia Belanda dijajah Inggris, Alexander Hare dan John Clunies Ross sama-sama menjalankan pemerintahan di Tanah Maluka. Ross adalah juga orang pertama yang mengunjungi dia di Capetown dan menceritakan padanya tentang kepulauan Kokos. Sketsa kasar yang dipakai Hare untuk memasuki Kokos dibuat oleh Ross.

Kepemilikan Inggris atas kepulauan Kokos dan kemungkinan kembalinya Ross ke Kokos untuk menetap sebagai wakil Kerajaan Inggris di pulau-pulau itu menyadarkan Hare bahwa dia dan rombongannya tidak akan terus menikmati kehidupannya di pulau-pulau mirip firdaus itu. Dia dan rombongannya pun tanpa dukungan pemerintah Inggris. Suatu waktu mereka harus meninggalkan Kokos. Tapi, untuk sementara waktu, dia akan menjadi penguasa tunggal atas kedua puluh tujuh pulau itu di Samudera India bagian selatan.

Selir-Selir Hare

Termasuk menjadi “Toewan Besar” (Tuan Besar) bersama “bini toea” (isteri pertama) dia atas budak-budak wanitanya. Dishta dari Kalkuta, India, adalah nama isteri pertama Hare. Budak-budak itu akan berada langsung di bawah pengawasan Dishta.

Budak-budak wanita itu diberi nama-nama yang cantik. Yang dari suku Bugis, Selebes (kini Sulawesi), diberi nama Mukina. Nama-nama indah yang lain: Sarinten Jagolan (Sunda), Mariatim (Timor), Kadarmina (asal pulau Biak di Papua), Nyo An (China dari Kanton), dan Marona (asal suku Basuto di Afrika Selatan).

Bagaimana Dishta menjadi isteri pertama Hare? Dia budak wanita pertama yang dibeli Hare dari seorang pedagang Inggris di Kalkuta. Waktu itu, dia miskin dan berusia empat belas tahun tapi cantik. Dari Hare, dia memperoleh seorang puteri dan tiga orang putera.

Bagaimana budak-budak wanita lainnya menjadi milik Alexander Hare? Dia entah memperoleh mereka sebagai hadiah entah membeli mereka. Budak-budak wanita di Malakka dihadiahkan seorang sultan pada Hare kalau suatu kontrak bisnis yang menjanjikan untuk sultan dan dia dicapai. Mariatim dibeli Hare di Balikpapan, Borneo. Marona dibeli dari seorang kepala suku tanah Basuto.

Kehendak Dishta di kalangan budak-budak wanita itu adalah hukum. Kalau Hare ingin bermalam dengan salah satu atau beberapa budak wanita itu, dia selalu membicarakan keinginannya dengan isteri utamanya. Dia lalu memberitahu wanita manakah yang boleh bermalam dengan Tuan Besar mereka.

Untuk menandakan bahwa selir-selir itu secara sah adalah “isteri-isteri” Hare, mereka—kecuali Dishta--diharuskan memakai gelang-gelang rotan khusus di lengan kanan bagian atas. Penanda khusus ini berasal dari tradisi orang pedalaman di Nieuw Guinea, tradisi yang pernah didengar Hare dan memberi ilham padanya. Dalam tradisi itu, lelaki dan wanita dewasa—termasuk yang sudah berkeluarga—tidur terpisah di rumah yang dibangun khusus untuk mereka. Wanita-wanita itu tidur bersama-sama,  berderetan atau berdampingan di malam hari, tanpa penerangan seperti lentera atau api yang menyala di tungku di dalam rumah. Setiap wanita yang sudah bersuami memakai gelang rotan khas di lengan bagian atasnya; gelang itu membedakannya  dengan wanita lainnya. Kalau seorang suami ingin tidur bersama isterinya, dia memasuki rumah wanita itu yang dalam keadaan gelap, dan kalau isterinya tidur sangat berdekatan dengan wanita lain, suaminya hanya perlu meraba gelang rotan dan tanda gambar khasnya untuk mengetahui siapa isteri sahnya. Cerita tentang tradisi orang Nieuw Guinea pedalaman itu begitu indah bagi Hare sehingga dia memberi perintah kepada Dishta melakukan hal yang sama pada ketiga belas wanita lainnya, yang dia anggap selir-selirnya.

Wanita-wanita yang memakai gelang-gelang rotan dengan gambar khasnya tidak perlu menghasilkan barang bernilai ekonomi apa pun dalam keluarga Hare. Tapi status sosial mereka melebihi status pembantu rumah tangga, tukang-tukang, dan budak-budak lain.

Sementara itu, Hare sudah melihat beberapa pantai pasir yang terpencil pada beberapa pulau. Di sana dia ingin beristirahat bersama budak-budak wanitanya, hanya berpakaian gelang-gelang rotan mereka.

keeling islands swimming beach Suatu pantai untuk berenang di Kepulauan Keeling

Sabtu, 07 Juli 2012

20. Alexander Hare dan Selir-Selirnya di Pulau-Pulau Kelapa (1)

judul buku untuk facebook 1a (FILEminimizer) Judul asli: De man die vrouwen verzamelde

Een koloniale geschiedenis van de Kokos-eilanden

Oleh Joop van den Berg

Penerbit: Uitgeverij BZZTOH ‘s-Gravenhage, 1998

Rancangan sampul depan: Julie Bergen

127 halaman (13 bab, dua peta, lima foto hitam putih, Pertanggungjawaban, dan Bibliografi)

Kategori: SEJARAH

***

Juni 1826. Alexander Hare, seorang bangsawan Inggris asal London, seorang pedagang, dan pejabat pemerintah Inggris di Hindia Belanda tiba di kepulauan Kokos—kemudian secara resmi disebut kepulauan Keeling—di Samudera Hindia bagian timur dengan “Hippomenes”, nama sekuner kecil miliknya. Meskipun usianya mendekati 50 tahun, dia punya postur yang tegap, tampan, dan berambut hitam yang panjang dan bergelombang. Tapi dia dikenang dalam sejarah—sekurang-kurangnya, sejarah pribadinya—dengan julukan “lelaki yang mengumpulkan wanita-wanita”. Ini secara lugas mengacu pada empat belas budak wanita yang cantik dan muda asal Hindia Belanda, Malakka (kini suatu bagian dari Malaysia), China, India, dan Afrika Selatan. Dia ingin mencari suatu tempat mirip firdaus di antara Pulau-Pulau Kelapa (Cocos Islands) tempat dia bisa berplesiran dengan selir-selirnya tanpa diganggu orang luar sambil hidup dan bekerja bersama mereka dan anggota-anggota rombongannya yang lain. Tapi impiannya akhirnya buyar karena kebijakannya sendiri dan  makin seringnya orang-orang asing dan juga orang-orang Inggris datang ke Kokos.

cocos keeling islands location1

Lokasi kepulauan Kokos (Keeling)

Ingin Istirahat di Kokos

Kepulauan Kokos terdiri dari dua puluh tujuh pulau, terletak dalam suatu lingkaran yang membentuk suatu teluk. Teluk ini dilindungi suatu mata rantai pulau-pulau dan batu karang dan menyediakan suatu pelabuhan yang aman dan teduh. Keeling sebagai nama resminya kemudian hari berasal dari nama William Keeling, seorang kapten kapal asal Inggris yang mengunjungi pulau-pulau itu 1607, barangkali tidak sebagai penemu pertama. Waktu itu, dia bekerja pada Kompeni India Timur milik Inggris. Luas seluruh kepulauan itu empat belas kilometer persegi. Jaraknya sekitar 930 kilometer baratdaya Jawa atau 1.000 kilometer selatan Selat Sunda. 

Di geladak depan kapalnya, Hare berdiri. Dia dibantu John Ross, seorang kapten kapal asal Skotlandia. Mereka berdua memakai suatu sketsa peta yang agak kasar dari Kokos untuk mencari tempat berlabuh yang cocok bagi kapal itu. Peta itu dibuat John Clunies Ross, seorang saudara lelaki John Ross yang juga dikenal baik oleh Hare. Di masa lampau, mereka berdua mitra dagang di Hindia Belanda.

Akhirnya, Hare dan Ross memilih pulau Direction, terletak pada suatu teluk. Daratannya dibentuk oleh karang yang tingginya sekitar tiga meter di atas permukaan laut dan ditutupi pohon kelapa yang melambai-lambai. Air lautnya sangat jernih sehingga mereka bisa melihat dasar laut dari pasir yang sangat putih, dengan karang di sana-sini. Sejauh yang mereka tahu, pulau-pulau itu tidak berpenghuni. Jangkar kapal lalu diturunkan.

“Hippomenes” berlabuh di situ sesudah menempuh suatu pelayaran yang panjang dari Capetown, suatu kota di Afrika Selatan. Selain barang-barang, kapal itu mengangkut juga budak-budak lelaki dan wanita. Akhirnya, kapal itu bisa berlabuh di dalam lingkaran suatu rangkaian pulau mirip firdaus.

Apa yang ingin dilakukan Alexander Hare pada beberapa pulau pilihannya di Kokos? Hidup dan bekerja di situ, termasuk berbisnis kopra dan minyak kelapa yang bisa dijual di Hindia Belanda dan Singapura. Tapi yang sangat penting adalah ingin beristirahat bersama penumpang lain di pulau-pulau itu dan tidak ingin diganggu. Penumpang itu mencakup empat belas budak wanita berusia muda dan cantik yang menjadi selir-selirnya.

keeling islands map

Lima  pulau dari gugusan pulau Keeling Selatan: Pulau Horsburgh, Pulau Direction, Pulau Home, Pulau Selatan, dan Pulau Barat. Di utara, tampak Pulau Keeling Utara.

Pedagang dan Pejabat Pemerintah Inggris zaman Raffles di Hindia Belanda

Alexander Hare lahir di London sekitar 1780. Dia putera sulung seorang pedagang arloji yang kaya di London. Ketiga adik Alexander adalah juga anak laki-laki.  Ayahnya terpandang tapi dia seorang ateis dan penganut paham liberal; sebagai akibatnya, keempat puteranya mengikuti pandangan religius atau politik ayahnya. Sekitar usia dua puluh tahun, Alexander menjadi karyawan suatu perusahaan daging Inggris di Portugal; kemudian, dia menjadi seorang pedagang di Kalkuta, India, dan Malakka sekitar tahun 1807;  dan di Hindia Belanda. Kemudian, dia dan seorang saudara lelakinya mendirikan dan menjalankan suatu firma ekspor, terutama mengekspor buah-buahan tropis. David, adik bungsu Alexander, menjadi seorang penjual permata di Batavia dan diperikan sebagai seorang yang terhormat.

Di Malakka, Alexander tahu bahwa berbagai “dagangan kolonial” mencakup budak lelaki dan wanita. Harta hidup ini memberi keuntungan finansial dan keuntungan lainnya.

Di tempat itu juga, dia berkenalan dengan seorang lelaki muda asal Inggris pada tahun 1808. Dia Stamford Raffles, Sekretaris Gubernur Inggris di pulau Penang (kini bagian dari Malaysia). Perkenalan itu segera berkembang menjadi erat dan akan menentukan arah kehidupannya.

Pada tahun 1810, Raffles secara rahasia ditugaskan Inggris untuk menyiapkan pendudukan atas pulau Jawa. Karena pendudukan itu dan penggabungan Belanda ke dalam Perancis oleh Napoleon, suatu pemerintahan yang efektif dari Hindia Belanda sebagai suatu jajahan Belanda menjadi tidak mungkin.

Hubungan Alexander dengan Hindia Belanda melalui peranan David. Dari rumah David, kakaknya mencoba menyebarkan pengaruhnya pada pemerintah kolonial Belanda di Batavia, ibu kota Hindia Belanda.

Citra dirinya buruk dalam beberapa sumber sejarah Hindia Belanda. Dia dikaitkan dengan “perbudakan, kengerian Banjarmasin, dan skandal kuli Banjarmasin”. Pendek kata, reputasinya tidak begitu bagus.

Hare diduga memiliki banyak hubungan dengan perusahaan-perusahaan perdagangan Belanda dan raja-raja pribumi di Hindia Belanda di daerah-daerah tertentu. Hubungan-hubungan itu ikut memberi sumbangan sekedarnya pada pendudukan Inggris atas Jawa, pulau utama di Hindia Belanda. Itu bisa diamati dari dukungan terang-terangan dari kerajaan-kerajaan pribumi di
Palembang, Aceh, dan Bali; mereka lebih suka pemerintahan pusat Belanda diganti pemerintahan Inggris.

Pada tahun 1811, Inggris berhasil menyerbu dan menduduki Jawa. Stamford Raffles menjadi Letnan Gubernur-Jenderal dan memulai suatu pemerintahan Inggris di Jawa selama lima tahun berturut-turut (1811-1816), disebut dalam sejarah Belanda sebagai Pemerintahan Sementara Inggris.

Hare, sahabat baik Raffles, dihadiahi karena “jasa-jasanya” di Malakka. Atas permintaan seorang sultan di Borneo (kini Kalimantan), Alexander Hare diangkat menjadi seorang residen komisioner—mirip bupati masa kini--di Banjarmasin pada tahun 1812. Banjarmasin waktu itu adalah satu-satunya kota penting di Borneo. Ini berarti dia secara praktis menjadi penguasa tunggal di Borneo, suatu kawasan seluas Belanda.

Selain itu, dia diangkat menjadi seorang raja muda untuk Tanah Maluka. Tidak dijelaskan oleh Joop van den Berg di mana letak kawasan itu: apakah itu ada di Borneo atau itu merujuk pada Kepulauan Maluku.

Sebenarnya, Hare seorang pedagang yang sudah menjadi semacam pengembang proyek. Sebidang tanah yang umumnya tidak berpenghuni dipercayakan pemerintah Inggris di Batavia padanya. Dia harus mengolah tanah itu menjadi suatu kawasan yang mampu memberi keuntungan ekonomis. Untuk itu, pemerintah Inggris membayarnya secara mewah, yaitu sebanyak beberapa ribu pon sterling per tahun. Tapi jumlah ini kecil dibanding biaya-biaya yang dia peroleh melalui bisnis dagangnya yang memberi keuntungan yang besar.

Misalnya, selama periode pemerintahannya sebagai seorang residen komisioner di Banjarmasin, dia melakukan suatu tindakan yang tidak bijaksana demi keuntungan pribadi. Sultan yang waktu itu mendorong pengangkatannya sebagai semacam bupati Inggris menawarkan pada upacara pengangkatannya secara resmi dua ratus budak lelaki. Mereka akan mengolah tanah yang gersang. Sebenarnya, ada juga banyak budak wanita, tapi mereka tidak ditawarkan pada Hare. Menurut cerita, Hare lebih suka memilih budak-budak wanita dari berbagai pelosok Hindia Belanda. Preferensi dia menjadi awal kebodohannya, suatu keputusan yang mengakibatkan dia disindir sebagai “lelaki yang mengumpulkan wanita-wanita”.

Selama beberapa tahun Hare melaksanakan kebijakan di Tanah Maluka, beredar cerita-cerita yang bertentangan. Yang pasti Hare terlalu memperkaya diri melalui berbagai praktek tercela: perdagangan budak, penyelundupan, perompakan, dan pembentukan monopoli.

Akhirnya, dia memiliki suatu armada kapal sendiri untuk bisnisnya. Kapal-kapal itu mengantar produk-produk dagangnya ke Singapura, Batavia, dan Eropa.

Selama Pemerintahan Sementara Inggris, kehidupan pribadinya mendapat kritik keras, terutama karena masalah budak-budak wanita miliknya. Tidak ada keberatan terhadap dia memelihara budak-budak lelaki karena itu, secara tidak resmi, diizinkan pemerintah Inggris. Tapi pelampiasan nafsu seksualnya dengan budak-budak wanita tidak bisa diterima oleh pemerintah Inggris di Batavia.

Reaksi Hare? Dia tidak merasa kritik keras mereka mengganggu kegemarannya.

Agustus 1816. Pemerintahan Sementara Inggris berakhir di Hindia Belanda. Peranan Raffles sebagai Letnan Gubernur-Jenderal Inggris sebagai akibatnya berakhir juga. Bagi Hare secara khusus, masa kelam akan melanda dia.

Untuk sementara, pemerintah Belanda yang kembali mempertahankan Hare pada posnya. Ada masalah-masalah yang lebih penting bagi pemerintah Belanda untuk dipecahkan di Jawa. Baru setahun kemudian (1817), dia diberi penjelasan bahwa dia harus pergi. Hare mula-mula menolak. Tahun 1818, suatu kontingen militer Belanda didatangkan untuk memperjelas padanya bahwa peranannya di Borneo sudah berakhir. Sisa-sisa harta miliknya disita.

5 Januari 1819. Alexander Hare menyingkir ke Jawa Timur bersama harta bendanya yang tidak disita. Hartanya? Terutama, budak-budak wanita yang cantik. Bendanya? Berkarung-karung batangan emas.

Mengapa Hare menetap di Jawa, kedudukan pemerintah pusat Belanda yang kembali? Ada berbagai penjelasan.

Pertama, ada urusan pribadinya yang perlu dibereskan dengan pemerintah Hindia Belanda. Urusan apa? Masalah Tanah Maluka: itu dia kleim sebagai miliknya. Belanda tidak berhak mengambilnya karena  tanah itu sebelumnya dihadiahkan sultan di Borneo kepadanya. Karena itu, dia menuntut Negara Belanda yang sudah mencaplok tanah miliknya membayar ganti rugi berjumlah sangat besar padanya.

Kedua, barangkali karena saudara lelakinya, David, tinggal di Batavia. David bisa menolongnya bila diperlukan.

Ketiga, banyak pegawai Pemerintahan Sementara Inggris dipertahankan di Jawa. Dia berpeluang mengandalkan dukungan mereka dalam konfliknya dengan pejabat-pejabat tinggi pemerintah Belanda.

Keempat, hubungannya yang retak dengan Raffles mendorongnya tinggal di pinggiran Batavia. Semasa pemerintahan Inggris, Raffles menyebut Alexander Hare seorang lelaki dengan kecerdasan yang tinggi. Tapi hubungan mereka kemudian retak. Akhirnya, Hare pergi ke Batavia dan membeli dua rumah besar di selatan kota itu. Rumah pertama disebut Pangilan dan yang kedua disebut Kampung Cinta. Diduga, dia tinggal bersama budak-budak wanitanya yang cantik di Kampung Cinta.

Akhirnya, kehidupan di Kampung Cinta diketahui umum. Muncullah keluhan-keluhan tentang nafsu seksual Alexander Hare.

Dia membela diri terhadap keluhan-keluhan itu. Dia menulis kepada pemerintah Batavia bahwa hubungan-hubungan seksualnya dengan budak-budak wanita itu urusan pribadi. Lagipula, mereka cuma budak-budak wanita, orang-orang yang paling tidak dianggap dalam masyarakat kolonial.

Pembelaan diri Hare memecah orang-orang Belanda dalam dua golongan. Kebanyakan orang Belanda waktu itu sepakat secara mendasar dengan dia. Tidak demikian halnya dengan pemerintah pusat yang ingin mendepaknya keluar Hindia Belanda. Pemerintah pusat mencari-cari kesalahan Hare lalu menemukan dalih. Pada tanggal 5 Maret 1819, pemerintah pusat menyatakan Alexander Hare seorang yang tidak disukai dan harus meninggalkan Hindia Belanda secepat-cepatnya.

Dia akhirnya meninggalkan Batavia. Dia berencana menumpang sebuah kapal yang menuju Inggris lewat Tanjung Pengharapan yang Baik di Afrika Selatan.

Ternyata, dia tidak tiba di Inggris tapi di Ampenan, Lombok, dan tinggal di sana selama dua tahun. Di tempat itu, dia diduga menambah jumlah selir-selirnya.

Barulah dia pulang ke Inggris? Tidak. Barulah dia pergi ke Bengkulu pada tahun 1820. Bengkulu masih merupakan suatu kawasan yang dikuasai Inggris di Sumatra Selatan. Sir Stamford Raffles, mantan Letnan Gubernur-Jenderal Inggris di Jawa, tinggal di situ. Bengkulu menjadi semacam tempat pengungsian banyak mantan pegawai pemerintah dan swasta Inggris; mereka sebelumnya adalah pejabat-pejabat tinggi.

Tapi di Bengkulu pun Hare tidak luput dari masalah hubungan sosial dengan orang-orang senegaranya dan juga masalah etis atau moral. Hubungannya dengan Raffles segera menjadi dingin. Dia pun menjadi sorotan umum karena masalah etis atau moral tentang status budak-budak lelaki dan wanita miliknya. Status mereka menimbulkan suatu konflik hebat dengan pemerintah Inggris. Tekanan sosial dan etis  itu mengakibatkan Hare akhirnya berangkat dengan salah satu kapalnya ke Afrika Selatan.

Sesudah dia tiba di sana, sejarah berulang. Hare membeli suatu peternakan luas di selatan Capetown dan meneruskan pengumpulan budak-budak wanita. Mereka dipilih dari gadis-gadis cantik suku Basuto, Ovambo, dan Zulu.

Seperti di Hindia Belanda dan Bengkulu, praktek pengumpulan wanita-wanita itu mendapat penentangan keras dari kelompok Kristen Protestan di Afrika Selatan. Penentangan ini khususnya dilakukan keturunan orang-orang Belanda anggota Gereja yang Direformasi Kembali (Re-reformed Church), suatu pecahan dari Gereja Reformasi (Reformed) Belanda, kedua-duanya gereja-gereja Protestan arus utama berlatar belakang Kalvinistik.  Terutama, para pendeta orang-orang Belanda Protestan itulah yang menentang praktek-praktek Hare memelihara budak-budak, lelaki dan wanita; itu hal yang memalukan bagi kehidupan orang Kristen. Mereka lalu mendesak pimpinan pemerintah (kulit putih) Afrika Selatan supaya mengusir Hare secepat-cepatnya dari Afrika Selatan.

Pada tahun 1826, Hare diperintahkan meninggalkan Afrika Selatan. Dia membeli sebuah kapal layar, “Hippomenes”, pada bulan Juni 1826. Bersama harta bendanya, dia berlayar menuju Kepulauan Kokos di Samudera India bagian timur.

keeling islands blue sea

Laut biru Kepulauan Keeling

(Bersambung)