BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Minggu, 15 Juli 2012

25. Alexander Hare dan Selir-Selirnya di Pulau-Pulau Kelapa (6)

Pengganti Ogilvie adalah Thomas (lahir di Banjarmasin 1812), putera sulung Hare, dari Dishta. Meskipun cerdas, Thomas yang lama hidup bersama para budak kekurangan wibawa dan pelaksanaan pertimbangan ayahnya.

Hare akhirnya mencari seorang pengganti Thomas. Hutapea, lelaki muda asal Batak yang baru saja bekerja untuk Hare di pulau-pulau itu, makin sering dilibatkan dalam berbagai urusan.

Kesepakatan untuk mejual harta benda Hare di Kokos kepada Ross akhirnya dicapai. Hare kini dipastikan akan meninggalkan Kokos bersama sisa komunitasnya.

Alexander Hare Meninggal Dunia di Bengkulu

10 Maret 1831. Kapal layar “Hippomenes” meninggalkan pulau Direction. Di geladak kapal, ada tiga puluh penumpang, di luar awak kapal. Mereka mencakup Alexander Hare, Dishta, putera-puteri mereka, tiga dari keempat selirnya, dan sekitar dua lusin budak dan budak wanita. Mereka membentuk rombongan Hare yang berlayar menuju Batavia.

Awal April 1831. “Hippomenes” tiba di Batavia. Meskipun Hare tidak disukai di Hindia Belanda, dia berhasil memperoleh izin tinggal di jajahan Belanda itu. Pemerintah di Batavia bersedia menerima dia dan rombongannya dengan berbagai syarat; di antaranya, dia dan rombongannya harus tinggal jauh dari Batavia.

Jadi, dia meninggalkan Batavia dan menuju Bengkulu, berjarak dua ratus kilometer dari Batavia. Bengkulu menjadi suatu tempat pemukiman orang Inggris antara abad ke-17 dan awal abad ke-19. Stamford Raffles menjadi letnan gubernur Bengkulu antara 1818 dan 1824. Kemudian, Bengkulu beralih menjadi suatu wilayah Kerajaan Belanda di Hindia Belanda. Hare dan rombongannya tinggal di Bengkulu tapi kedua puteranya tinggal di Batavia dan bekerja sebagai pedagang.

Kehidupan yang bergejolak dari Alexander Hare berakhir secara misterius di Bengkulu. Bersama Hutapea, pengawasnya yang baru, mereka melakukan turne lewat hutan Bengkulu. Dalam perjalanan itu, dia menderita demam tinggi selama beberapa hari dan meninggal dunia di hutan. Karena jauh dari tempat tinggalnya, jenazahnya dimakamkan Hutapea di suatu tempat di hutan Bengkulu. Sejak itu, makamnya tidak diketahui.

Kekayaan pribadinya—batangan emas, perak, dan batu-batu mulia—menjadi milik Dishta. Secara finansial, Dishta—janda Hare—tidak perlu kuatir akan masa depannya.

Kekuasaan John Clunies Ross dan Keturunannya

Sesudah Hare dan rombongannya meninggalkan pulau-pulau tempat pemukimannya, John Clunies Ross dan komunitasnya pindah dari pulau Selatan ke Home, bekas markas Hare. Ross tinggal di tengah pemukiman baru itu. Dia mendirikan perumahan bagi tenaga kerja Eropa dan dua kampung untuk karyawan pribumi asal Hindia Belanda: kampung Melayu untuk tenaga kerja utama dia dan mantan tenaga kerja Hare dan juga kampung Bantam untuk tenaga-tenaga kerja yang baru tinggal yang berasal dari Bantam (Banten?) di Jawa Barat.

Home Island wedding Sekelompok penduduk Melayu di pulau Home mengadakan suatu acara pernikahan

Ross lalu menjalankan pemerintahan di Kokos. Dia membawahi sekitar 120 tenaga kerja, mantan budak lelaki dan wanita. Budak-budak wanita itu berasal dari Hindia Inggris (India masa kini), China, Malakka, Sumatra, Jawa, Bali, Sumbawa, Timor, Borneo, Selebes, dan Nieuw Guinea. Semuanya dibawa Hare ke Kokos. Tujuh di antara anak-anak para budak wanita itu hasil perkawinan mereka dengan Hare.

Nama John Clunies Ross akan terikat selama lebih dari seratus tahun dengan kepulauan Kokos atau Keeling. Tahun 1987, John (Cecil) Clunies Ross, salah seorang keturunan Ross pertama dari Kokos, tinggal di Australia. Masih pada tahun 1987, Clunies Ross ke-6, keturunan langsung dari John Clunies Ross, berhasil memadamkan suatu pemberontakan orang-orang Melayu Kokos. Mereka keturunan langsung penduduk Melayu atau penduduk kampung Bantam.

April 1836. Charles Darwin, ilmuwan tenar asal Inggris itu, singgah dengan kapal “Beagle” di kepulauan Kokos. Dia membuat catatan tentang anak-anak yang berpenampilan sintal.

31 Maret 1857. Kepulauan Kokos secara resmi dinyatakan sebagai milik Kerajaan Inggris. John Clunies Ross diangkat sebagai pejabat pemerintah Inggris di Kokos. Tapi Ross, Sr meninggal dunia pada tahun 1854; jadi, pelaksana pemerintahan Inggris di Kokos diteruskan George Clunies Ross, putera Ross.

Kepulauan Keeling Abad ke-20 dan ke-21

1914. Sesudah pecah Perang Dunia Pertama, kepulauan Kokos tiba-tiba menonjol di halaman depan pers dunia. Kapal perang penjelajah “Emden” dari Jerman mencari perlindungan di Kokos sesudah melakukan suatu serangan mendadak terhadap satu kapal perang Rusia dan Perancis di Penang (kini suatu bagian dari Malaysia). Kemudian, “Emdem” ditenggelamkan oleh tembakan meriam “Sydney”, sebuah kapal perang Australia.

Awal PD II, nama Kokos muncul lagi dalam pers dunia. Suatu skuadron pesawat pembom Jepang menjatuhkan dari udara bom-bom di pulau Direction yang tanpa pertahanan terhadap serangan udara. Tujuan pemboman itu untuk menghancurkan stasiun penghubung (pengiriman berita) di kepulauan itu. Tapi kerusakannya sedikit dan Jepang tidak lagi melanjutkan pembomannya di sana.

Angkatan Udara Australia kemudian membangun suatu landasan pacu di Direction untuk pesawat tempur dan pembom. Landasan itu kemudian menjadi suatu stasiun penghubung penting bagi penerbangan dari Perth, suatu kota di Australia, ke Diego Garcia, suatu pulau di Samudera Hindia, tempat Amerika Serikat mendirikan suatu basis Angkatan Udara yang luas. Selama Perang Dingin, Kokos menjadi suatu pangkalan pendukung militer yang penting di Samudera Hindia.

25 November 1955. Pulau-pulsu Kokos secara resmi ditambahkan sebagai suatu kawasan baru pada Australia. Clunies Ross ke-5, meskipun hanya namanya, tetap menjadi penguasa di sana.

Masa kini, pulau-pulau Kokos secara resmi disebut pulau-pulau Keeling. Ia diberi otonomi terbatas oleh pemerintah Australia. Beberapa tahun menjelang tahun 2000, sekitar 200 orang kulit putih, terutama dari Australia, bekerja di bandar udara, stasiun telekomunikasi, dan kantor pos di Keeling.

bendera kokos Bendera kepulauan Keeling

Data 2010 menunjukkan bahwa nama lengkap pulau-pulau Kokos atau Keeling adalah Teritori Pulau-Pulau Kokos (Keeling). Ibu kotanya adalah West Island; dua kota terbesarnya mencakup Bantam (dihuni 662 orang) dan West Island (dihuni 218 orang), total ada 880 orang yang tinggal di kedua kota itu. Tapi jumlah total penduduk Keeling untuk Juli 2010 diperkirakan sebesar 596 orang, 124 orang lebih kurang dari 880 orang tadi. Tidak dijelaskan mengapa jumlah total penduduk kepulauan Keeling di bawah jumlah mereka yang tinggal di kedua kota terbesar tadi. Kelompok etnik yang dominan di Keeling adalah Melayu dan Eropa. Agama Islam dianut sekitar 66,5% penduduk disusul agama Kristen (27,19%), dan Universisme China (0,9%).

coat of arms kokos Lambang Teritori Kepulauan Keeling, “Maju Pule Kita”

******

Rekaan yang Terinformasi

De man die vrouwen verzamelde karya Joop van den Berg bukanlah suatu buku sejarah. Data untuk menulis tentang Alexander Hare sangat sedikit dan pembentukan suatu legenda tentang dia sangat besar. Karena itu, penulis memakai serangkaian informasi historis yang tepat, lalu menghasilkan semacam penuturan kembali tentang apa yang diperkirakan terjadi di kepulauan Kokos. Fakta dan rekaan berlaku.

Bentuk penuturan seperti ini disebut oleh Peter Ackroyd sebgai “rekaan yang terinformasi (informed fiction)”.  Dengan mengandalkan bentuk penuturan ini, Joop van den Berg berharap fakta historis dan imajinasi bisa menghasilkan suatu cerita yang bisa dipercaya.

Kalau penerapan rekaan yang terinformasi memanfaatkan data sejarah yang keliru, maka penulisnya bisa menghasilkan anakronisme atau kesalahan kronologis. Dengan kata lain, ada sesuatu dari kurun yang berbeda.

Anakronisme

Kisah tentang budak-budak wanita Hare yang memakai gelang-gelang rotan boleh jadi adalah suatu anakronisme. Hare, menurut tulisan van den Berg, mendapat ilham tentang gelang ini dari suatu suku di pedalaman Nieuw Guinea. Tidak dijelaskan dari kawasan khusus pedalaman yang mana. Sejarah menunjukkan bahwa kawasan pedalaman apa yang sekarang bernama Papua dan Papua Barat baru terbuka pada dunia luar awal abad ke-20. Padahal Alexander Hare yang dikisahkan hidup awal abad ke-19. Tapi kalau tradisi ini ada pada suku pedalaman di Papua New Guinea—sekarang bernama Papua Nugini—semasa hidup Hare, anakronisme tadi tidak berlaku.

Mengherankan untuk mengetahui bahwa salah seorang selir Hare adalah seorang budak wanita dari Biak. Lazimnya, budak-budak dari Nieuw Guinea adalah laki-laki yang dipekerjakan oleh kesultanan Tidore atau Ternate di Maluku Utara beberapa abad yang silam. Mereka sering berasal dari Raja Ampat, suatu pemukiman imigran-imigran asal Biak selama berabad-abad. Kemungkinan budak wanita dari Biak milik Hare berasal dari Raja Ampat. Tapi bagaimana dia sampai dimiliki Hare tidak dijelaskan oleh van den Berg. Hare tidak ke Tidore atau Ternate; jadi, kemungkinan wanita dari Biak itu diperjual-belikan melalui tangan lain sebelum dia dibeli Hare.

Bacaan Sejarah Mirip Novel

Meskipun demikian, buku tulisan Joop van den Berg sangat menarik untuk dibaca. Bukunya ditulis seperti suatu novel yang memikat. Pembaca pun menjadi makin tahu tentang suatu kepulauan di Samudera Hindia bagian selatan yang pernah punya suatu hubungan sejarah dengan Hindia Belanda karena Alexander Hare dan masih punya hubungan sejarah itu karena penduduk Melayu yang berasal dari Hindia Belanda dan yang keturunannya masih tinggal di sana.

Menjadi menarik juga untuk mengetahui apakah ketiga belas budak wanita yang menjadi selir-selir Hare—di luar Dishta—masih punya keturunan yang tinggal di Keeling masa kini atau tidak. Kalau memang ada, akan menjadi menarik untuk mengetahui apakah selirnya dari Biak (Nieuw Guinea), Timor, Bali, Sunda, dan lain-lain masih punya keturunan di Keeling masa kini atau tidak.