BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Rabu, 09 Maret 2011

1. Revolusi Sosial di Afrika Utara dan Timur Tengah Sudah Diramalkan

Judul buku: The Coming Revolution: Struggle for Freedom in the Middle East

TheComingRevolution2
Penulis: Dr. Wahid Phares

Penerbit: Simon & Schuster

Tempat dan Tahun Penerbitan: New York City 2010

Kategori: SOSIAL-POLITIK




walid phares1 Dr. Wahid Phares

Akhir-akhir ini, media massa dan media cetak nasional dan internasional terus-menerus menempatkan gejolak masyarakat di Afrika Utara dan Timur Tengah sebagai berita dan ulasan utama. Sesudah diktator Tunisia dan Mesir tumbang, kita tengah mengikuti dengan perasaan bertanya-tanya apakah Gaddafi di Libia pun akan dipaksa mundur oleh rakyatnya, atau malah tetap mempertahankan kekuasaannya dengan cara apa pun.

Apa sih yang mendorong rakyat kedua kawasan itu berani menentang risiko kematian – seperti di Libia sekarang – atau bertahan berhari-hari lamanya – seperti di Bahrain dan Yaman – melakukan demonstrasi dan perlawanan bersenjata, menuntut agar pimpinan negara atau bahkan rajanya mundur? Tentu ada banyak jawaban dari berbagai sudut-pandang terhadap pertanyaan mendasar tadi. Barangkali, The Coming Revolution karya Dr. Wahid Phares relevan sekali dengan pertanyaan tadi. Buku yang beredar di pasaran Desember 2010 ini ternyata berisi visi yang mendalam, gamblang, dan relevan dengan perubahan sosial yang tengah berlangsung di Afrika Utara dan Timur Tengah.

Pergeseran Sosial-Politik yang Hebat

Inti masalah dalam buku tadi adalah pergeseran sosial-politik yang hebat di Afrika Utara dan Timur Tengah yang disebabkan perlawanan rakyat yang ingin demokrasi dan kebebasan terhadap kekuasaan mutlak atau otokratik para pemimpin negara dan raja di kedua kawasan itu. Meskipun muncul sesudah PD II, kekuasaan semacam ini sudah dipertahankan selama 1.400 tahun.

Menurut Dr. Phares, pemimpin dengan kekuasaan mutlak muncul di Iran, Sudan, Libia, dan Afghanistan sesudah Perang Dunia II. Selain itu, mereka berkuasa di berbagai negara lain di Afrika Utara dan Timur Tengah.

Gejolak-gejolak politik yang hebat yang melanda Timur Tengah mesti ada penyebabnya. Gejolak itu mulai dengan jatuhnya pemerintahan Lebanon ke tangan Hizbullah diikuti kejatuhan secara mendadak Zine El Abidine Ben Ali, diktator Tunisia, disusul pemecatan Hosni Mubarak sebagai Presiden Mesir. Rentetan pergeseran sosial-politik di kedua kawasan tadi mengakibatkan kekacauan makin berkembang. Sementara itu, Libia menuju perang saudara dan pemuda Bahrain ikut menunjukkan solidaritasnya dengan para demonstran di jalan. Di samping itu, agitasi demi kebebasan di antara para pemuda Yaman, Mauritania, Sudan, Aljazair, Yordania, Suriah, Saudi Arabia, dan Iran tidak lagi menunjukkan stabilitas regional: revolusi sosial yang terjadi dinilai sebagai suatu ledakan yang spontan, bahkan bisa disebut ajaib. Apa penyebab gejolak-gejolak itu?

Dr. Wahid Phares, berasal dari Lebanon tapi menjadi dosen Strategi Global dan Kajian Timur Tengah serta Konflik Etnik dan Religius di AS, menjelaskan jawabannya dalam The Coming Revolution. Menurutnya, tengah terjadi pergeseran sosial-politik yang hebat, misalnya,  di Aljazair dan Mesir (bagian Utara) di Afrika Utara dan juga di Mesir, Suriah, Uni Emirat Arab, Saudi Arabia, dan Iran di Timur Tengah. Mereka yang ikut berperan dalam pergeseran itu mencakup wajah-wajah baru para pembangkang terhadap resim yang berkuasa di negaranya, yang perlawanannya sudah dikenal secara internasional. Bukan saja mereka yang memberi perlawanan. Perlawanan itu diberikan juga oleh para blogger bebas, acara diskusi televisi, wartawan, aktivis HAM, dan bahkan anggota legislatif yang baru dilantik. Pembangkangan dan perlawanan mereka secara khusus ditujukan kepada dua pihak: pertama, resim-resim yang mempertahankan kedudukannya, dan kedua, fasisme jihad dari penganut Salafisme dan Khomeinisme.
Salafisme adalah suatu gerakan fundamental Islam yang dihubungkan dengan Wahhabisme  yang dalam bentuknya yang radikal menekankan penolakan terhadap pengaruh non-Islam. Wahhabisme adalah suatu gerakan yang dibentuk oleh suatu kelompok Islam yang sangat kolot yang menolak pembaharuan apa pun sesudah abad ke-3 Islam. Khomeinisme adalah suatu gerakan yang mendukung dan menyebarkan ajaran-ajaran Ayatollah Khomeini, pemimpin religius Iran yang menjatuhkan Syah Iran dari tahtanya, dan mendirikan Republik Islam Iran tahun 1979.
Sebagai akibat perlawanan ini, demokrasi sudah menembus benteng-benteng para pemimpin negara yang punya kekuasaan mutlak itu.

“Kawasan-kawasan  yang bernasib buruk”

Dr. Wahid Phares menyebut Afrika Utara dan Timur Tengah yang dilanda revolusi sosial sebagai “kawasan-kawasan yang bernasib buruk”. Kawasan-kawasan itu sudah lama berada di tangan penguasa mutlak: pemerintahan kerajaan dan otokrasi mapan. Bagaimanakah mereka melestarikan kekuasaannya? Mereka sudah bergabung dalam “satu persaudaraan melawan demokrasi” dengan gerakan-gerakan Islam. Untuk apa? Untuk menjaga agar unsur-unsur demokratik dari masyarakatnya pada kedua kawasan itu terpinggirkan dan terpisah.

Dalam The Coming Revolution, Phares secara gamblang menelusuri akar pelestarian kekuasaan mutlak di Afrika Utara dan Timur Tengah masa kini pada kekuasaan para Kalifah di masa lampau.  Masa kini, perang para pembangkang di Timur Tengah adalah perang demi kemerdekaan; Phares menempatkan perang itu ke dalam suatu rangkaian kesatuan (continuum). Di dalam rangkaian kesatuan ini, rantai-rantai kekuasaan Kalifah, suatu lembaga religius dan politik, sudah menjadi “kekuatan yang mengesahkan” para penguasa dinasti dan totalitarian selama 1.400 tahun. Tidak mudah mengubah sistem kekuasaan  macam ini yang sudah selama hampir satu setengah milenium menjadi sumber kekuasaan mutlak para pemimpin dan raja di Afrika Utara dan Timur Tengah. Meskipun sulit, peluang ke arah perubahan itu ada. Pergeseran dari sistem kekuasaan mutlak yang bersumber pada kekuasaan Kalifah ke sistem demokratik dan kebebasan, menurut Wahid Phares, membutuhkan “suatu revolusi dalam pikiran politik”.

Kebijakan luar negeri yang keliru dari AS

Tidak selalu pelestarian kekuasaan mutlak di Afrika Utara dan Timur Tengah bersumber pada sejarah kekuasaan Kalifah. Di masa kini, pelestarian itu hasil kebijakan luar negeri yang keliru dari Amerika Serikat, polisi dunia itu. Dalam hubungan ini, Dr. Phares mempertanyakan kearifan dan kebijakan luar negeri AS dalam menangani resim-resim yang dilestarikan Partai Baath, suatu partai sosialis pan-Arab yang didirikan tahun 1943, di Irak dan Suriah. AS meminta dukungan Suriah untuk menjatuhkan Saddam Hussein, seorang diktator Irak, dan memperoleh dukungan Suriah. Tapi AS tidak menyadari bahwa dukungan yang diberikan padanya oleh Suriah berarti AS memberikan kepada resim Assad, Presiden Suriah, dan Partai Baath yang mendukungnya suatu isyarat untuk mengirimkan tentaranya ke Lebanon. Kehadiran tentara Suriah di Lebanon ditentang sebagian rakyat Lebanon melalui revolusi yang mereka namakan Revolusi Sedar, nama sejenis pohon di negara itu. Revolusi itu mulai 14 Maret 2005. Naik-turunnya revolusi itu dibayang-bayangi pembunuhan Rafik Hariri, seorang tokoh politik Lebanon, oleh kelompok Hizbullah.

Revolusi Sedar

Revolusi Sedar adalah suatu revolusi jalanan yang timbul di Beirut dan melibatkan sepertiga penduduk ibu kota negara itu. Apa yang mau dicapai melalui revolusi itu? Para demonstran Beirut ingin menunjukkan kepada dunia bahwa mereka sudah merasa cukup dengan penindasan. Itu suatu revolusi tentang cara revolusi dilaksanakan. Revolusi itu menunjukkan kepada dunia bahwa pemberontakan sudah mulai di Timur Tengah.

Suriah akhirnya menarik pasukannya dari Lebanon. Penarikan itu disambut sebagai suatu kemenangan besar oleh kaum demonstran muda yang cinta damai. Akan tetapi, pengaruh Suriah dan Hizbullah tetap ada di Lebanon.

Pada bulan Januari 2011, satu bulan sesudah The Coming Revolution beredar di pasaran, demonstrasi-demonstrasi sporadik diadakan di Lebanon ketika kelompok Hizbullah merekayasa kejatuhan pemerintahan Saad Hariri. Ini disusul berakhirnya kekuasaan Zine El Abidine Ben Ali yang diterbangkan dengan sebuah helikopter keluar dari Tunisia. Ini disusul juga oleh kekuatan-kekuatan pro-demokrasi yang yang dimobilisasi dan berkumpul di Alun-Alun Tahrir.

Kekuatan-kekuatan perubahan

Dalam bukunya, Phares menjelajahi secara mendalam kekuatan-kekuatan yang mengarah pada perubahan-perubahan di Afrika Utara, dari Aljazair ke Tunisia ke Libia ke Sudan ke Mesir. Dia membeberkan kebenaran tentang jutaan orang yang mati karena genosida dan ratusan ribu orang yang dijual sebagai budak-budak di Afrika oleh kaum elit Arab dan milisia Islam militan. Dia juga membahas ancaman-ancaman lain terhadap demokrasi dan kebebasan yang datang dari Semenanjung Arab dan negara adidaya, Persia, Persaudaraan Muslim dan Al Qaeda. (Persaudaraan Muslim adalah suatu gerakan nasionalis Muslim Mesir yang didirikan 1928, terpanggil untuk memperjuangkan ajaran Islam fundamental, dan menolak pengaruh Barat.) Dr. Wahid Phares mengelompokkan ancaman terhadap pejuang-pejuang demokrasi di Afrika Utara dan Timur Tengah; ada tirai besi yang memisahkan pendukung Supremasi Islam di seluruh dunia dan mereka yang berjuang demi demokrasi dan kebebasan. Di tengah ancaman itu, para pejuang demokrasi memberontak di balik tirai besi Supremasi Islam. Dengan gamblang, Phares menyingkapkan cara resim-resim totalitarian Timur Tengah Raya, selama 50 tahun terakhir, sudah memanfaatkan sensasi dan konflik eksternal untuk menutupi tirai besi itu dan membersihkan pembangkang-pembangkang internal. Tampaknya, ancaman-ancaman tersebut tidak akan mampu membendung pergeseran sosial-politik yang dahsyat yang tengah terjadi di kawasan-kawasan itu.

Perjuangan Melawan  Kekuasaan di Balik Tirai Besi

Dr. Wahid Phares mengajarkan kepada kita bahwa ada suatu tirai besi Islam di kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia Selatan. Di balik tirai besi itu, sejumlah kerajaan absolut, diktator otokratik, dan resim Islam bekerja sama dengan unsur-unsur jihad dari supremasi Islam. Bersama-sama, mereka sudah menyudutkan, memisahkan, dan memadamkan kantong-kantong pembangkang yang ramai-ramai menuntut suatu campuran dari agenda alternatif seperti demokrasi, hak individual, pemerintahan sekuler, pemerintahan sendiri, dan kebebasan ekonomi.

The Coming Revolution: Struggle for Freedom in the Middle East memberi kepada pembaca suatu bacaan yang mantap, bernuansa, dan kontekstual tentang gerakan kaum pembangkang di kedua kawasan itu.(Celly)

0 komentar: