BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Jumat, 25 Maret 2011

8. Berkenalan dengan Orang Papua dari Waropen

papuas of waropen book Judul: The Papuas of Waropen

Penulis: Prof. Dr. G. J. Held

Penerbit: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde Translation Series 2

Tempat, penerbitan, tahun: The Hague: Martinus Nijhoff 1957

Non-fiksi: 407 halaman

Isi: prawacana editorial, prawacana, pengantar, delapan bab, glosari, daftar foto (77 lembar), daftar gambar (32 lembar), singkatan, dan indeks

Kategori: ANTROPOLOGI-BUDAYA

***

Catatanku: Edisi bahasa Inggris ini berdasarkan edisi aslinya dalam bahasa Belanda, Papoea’s van Waropen. Resensi kali ini akan diawali ringkasan prawacana dan pengantar  oleh Prof. Dr. G. J. Held, sebagai info latar belakang. Dalam suatu tulisan berikut, saya akan memuat resensi buku ini. (CA)

Prawacana

Papoea’s van Waropen diterbitkan pertama kali di Belanda tahun 1947, berdasarkan suatu naskah yang diselesaikan tahun 1942. Naskah ini kemudian diterbitkan sebagai suatu monograf (risalah, karangan ilmiah) berdasarkan suatu hasil penelitian lapangan dalam antropologi-budaya tentang suku Waropen di suatu kawasan pesisir di Teluk Geelvink (sekarang Teluk Cenderawasih) oleh Dr. G. J. Held. Sesudah dia meninggal dunia 1955, monograf itu diterbitkan dalam bahasa Inggris, suatu terbitan yang bermanfaat bagi para ahli antropologi-budaya dan pembaca-pembaca lain yang berminat.

Penelitian Held tentang suku Waropen dilakukan atas perintah Perhimpunan Alkitab Belanda di Amsterdam. Lembaga ini berada di bawah Perhimpunan Penginjilan Utrecht, Belanda. Held kemudian pindah menjadi seorang pegawai permerintah Belanda tapi dia terus melanjutkan pekerjaannya menyangkut bahan-bahan antropologis yang sudah dia kumpulkan dari suku Waropen.

Di dalam The Papuas of Waropen, Prof. Dr. G. J. Held mencoba membahas dua hal pokok: suatu sampel representatif tentang kebudayaan Waropen, seperti fungsinya ketika diamati, dan  suatu perspektif dalam pemerian kebudayaan ini. Dia memperoleh perspektif itu dengan mencari kecenderungan-kecenderungan sejarah yang menolong menetapkan perkembangan kebudayaan. Untuk membahas kedua hal itu, dia berasumsi bahwa suatu hubungan fungsional yang ada di dalam suatu kebudayaan kapan pun dalam perjalanan sejarahnya ditetapkan juga oleh suatu arah tertentu. Suatu kebudayaan, lanjut Held, tidak hanya terdiri dari sejumlah unsur budaya yang secara fungsional terhubungkan pada suatu saat tertentu tapi juga mengalami pegeseran di dalamnya, yaitu, perubahan dalam pengelompokan unsur-unsur budaya itu sendiri. Pergeseran di dalam kebudayaan ini tidak serampangan atau sembarangan tapi ditetapkan oleh sebab-sebab tertentu, sebab-sebab yang cocok dengan kecenderungan-kecenderungan tertentu. Held sudah mencoba menemukan akibat-akibat dari beberapa sebab ini dan arah beberapa kecenderungan ini. Penjelasannya menunjukkan metodenya dalam penelitian kebudayaan.

Dengan memakai metode ini, Prof. Dr. G. j. Held membatasi penelitiannya pada suatu pemerian (deskripsi)  tentang kebudayaan suku Waropen yang belum Kristen. Pemeriannya mencakup masalah-masalah yang timbul ketika suatu peradaban sudah membuka diri kepada zaman modern. “Sejarah kontemporer tahun 1940 bagi banyak orang Papua masa kini adalah akhir dari pra-sejarahnya,” katanya.

Menurut Held, kebudayaan Waropen tahun 1940-an yang dia perikan tidak benar-benar “primitif”. Tujuan penelitiannya hanyalah untuk membuat suatu pemerian tentang suatu bentuk peradaban manusia yang kurang rumit, yang tidak banyak bedanya dengan kebudayaan manusia lainnya di mana pun di dunia.

Pengantar

Held mulai pengantar bukunya dengan memberikan suatu indikasi ringkasan tentang tiga provinsi kebudayaan di Teluk Geelvink. Dia lalu mendefinisikan kawasan Waropen secara geografik.

Lingkungan budaya

Ada tiga provinsi kebudayaan yang oleh Held disebut “tiga pusat pemancaran kebudayaan” di Teluk Geelvink. Pertama, kebudayaan kelompok Biak-Numfor. Kelompok in terentang dari ujung Barat-laut paling jauh dekat Manokwari (Mansinam dan Teluk Dore) ke pulau Numfor dan Biak sampai ke pulau Rumberpon dan sebagian pulau Roon di Selatan Teluk Geelvink. Kedua, kebudayaan kelompok Wandamen-Windesi (kini Wondama-Windesi) yang terdapat di Barat-daya Teluk Geelvink. Ketiga, kebudayaan kelompok Waropen mencakup pemukiman suku Waropen di bagian paling selatan dari Teluk Geelvink, yaitu, di pedalaman bagian teluk itu, dekat kepulauan Haarlem dan Moor (punya bahasanya sendiri); ketiga pemukiman Waropen Kai (Napan, Weinami, dan Makimi) di pesisir Timur Teluk Geelvink; dan pada beberapa kampung yang besar di pulau Nau.

Tapi Held sulit menetapkan posisi penduduk pulau besar Yapen, terletak di utara Waropen,  dalam hubungan dengan ketiga pusat penyebaran kebudayaan di Teluk Geelvink. Yapen sudah mengalami pengaruh ketiga pusat penyebaran kebudayaan ini. Bagian utara dipengaruhi oleh kelompok kebudayaan Biak-Numfor, bagian barat-daya oleh kelompok kebudayaan Wandamen-Windesi, sementara pesisir Selatan dengan Serui dan Ambai sebagai pusatnya punya suatu hubungan yang ramai dengan pesisir Waropen, dan, sebagai akibatnya, penduduk kedua pusat itu saling memengaruhi. Meskipun demikian, bahasa yang dipakai di Yapen yang berbeda sekali dengan bahasa-bahasa yang dipakai pada ketiga daerah kebudayaan itu tidak berarti penduduk Yapen terbagi-bagi ke dalam ketiga daerah kebudayaan itu. Ada sekurang-kurangnya sepuluh bahasa atau dialek yang berbeda-beda yang dipakai di pulau Yapen. Jadi, untuk sementara, Held menyisakan suatu kelompok kebudayaan Yapen.

Suku-suku di pedalaman yang tinggal sepanjang Teluk Geelvink sejauh yang diamati Held belum dipengaruhi ketiga pusat pemancaran kebudayaan yang sudah dijelaskan. Mereka tinggal, misalnya, di pedalaman Waropen dan Biak-Numfor dan  memakai bahasa-bahasanya sendiri.

Pengetahuan Dr. Held tentang penduduk pedalaman terbatas. Ini mengakibatkan dia tidak mampu menetapkan hubungan antara penduduk pesisir dan pedalaman di Waropen. Meskipun demikian, dia mengatakan penduduk pesisir lebih menyebarkan kebudayaannya ke penduduk pedalaman..

Dari sudut-pandang kebudayaan, kelompok-kelompok kebudayaan pesisir di Teluk Geelvink yang sudah dijelaskan menunjukkan banyak titik persamaan. Karena itu, Teluk Geelvink yang dihuni penduduk pesisir ini bisa dikatakan membentuk satu daerah kebudayaan, yang di dalamnya setiap kelompok kebudayaan pesisir bisa dibedakan menjadi suatu provinsi kebudayaan yang terpisah. Tapi Held belum bisa memastikan apakah pulau Yapen bisa disebut sebagai provinsi kebudayaan yang keempat.

Di Teluk Geelvink, Held menemukan tidak hanya kesatuan tapi juga keanekaragaman di antara penduduk pesisir. Misalnya, kebudayaan material penduduk ketiga provinsi kebudayaan itu (seperti pakaian, perumahan, senjata, dekorasi, dan pembuatan perahu besar) menunjukkan persamaan yang menonjol. Tapi sewaktu-waktu ada juga perbedaan, misalnya, dalam sistem perkawinan. Kelompok kebudayaan Waropen Kai mempratekkan suatu sistem pernikahan yang cocok dengan suatu sistem klen yang bersirkulasi. Sementara itu, kedua kelompok pesisir yang lain mengenal mengenal eksogami (perkawinan di luar suatu kelompok sosial) dari hubungan darah; akan tetapi ini masih dihubungkan dengan eksogami kelompok.

Apakah kebudayaan Waropen tergolong pada kebudayaan Melanesia atau Indonesia? Data yang tidak memadai yang dimiliki Held menyulitkan dia menetapkan apakah kebudayaan Waropen adalah kebudayaan Melanesia atau Indonesia.

Lingkungan geografik Waropen

Kawasan Waropen pada waktu Held mengadakan penelitiannya mencakup Ambumi di Teluk Wondama; kampung Makimi, Napan, dan Weinami di daratan yang berhadapan dengan Kepulauan Haarlem dan Moor; dan kampung Waren, Sangge, Paradoi, Mambui, Nubuai, Woinui, Risei-Saiati, Wonti, dan Sasera ke arah Utara Makimi, Napan, dan Weinami. Di Timur Wonti, pernah ada kampung bernama Demba, didirikan sebagai sebuah pos polisi pemerintah Belanda pada tahun 1939 tapi kemudian ditinggalkan.

Nama Waropen dipakai juga sebagai suatu pembagian administratif pemerintah Belanda. Tapi luas Waropen secara administratif tidak sama dengan luasnya sebagai suatu kawasan suku-suku pesisir. Ia mencakup Serui dan kawasan pedalaman tapi lebih sempit dari kawasan suku-suku Waropen karena kampung Makimi, Napan, Weinami, dan Ambumi secara administratif tergolong pada sub-divisi Manokwari.

Dalam pembahasan selanjutnya, Dr. G. J. Held mengacu pada Waropen sebagai penduduk pesisir yang tinggal di kampung-kampung yang sudah disebutkan. Terkadang, dia memakai nama Waropen Kai untuk mengacu pada kawasan di Timur Sungai Wapoga dan Napan untuk kawasan di Barat sungai tadi.

Penduduk Waropen tinggal di kawasan hutan berbakau atau kawasan dengan hutan yang mengalami pasang-surut air. Ini mengherankan karena penduduk pesisir lain lebih suka tinggal di pantai berpasir. Kawasan yang mereka huni sebagai akibatnya tidak memungkinkan mereka mengembangkan pertanian yang sesungguhnya karena tanah hutan pasang-surut itu sangat tidak subur.

Sementara itu, air minum bisa mereka peroleh sesudah bepergian sejauh antara sekitar empat setengah sampai dengan sembilan kilometer dari pantai. Karena jarak yang jauh untuk mengambil air minum, penduduk sering minum tuak dari pohon nipah yang berlimpah-limpah di hutan berbakau sebagai pengganti air tawar.

Karena tuak yang diperoleh dari pohon nipah itu berlimpah-lompah juga, orang-orang yang gemar meminum tuak menjadi mabuk, biasanya di malam hari. Keadaan mabuk lalu menimbulkan kekasaran perilaku mereka yang ketagihan tuak itu. Pengaruh minuman keras itu lalu memberi pembenaran kepada para penginjil dan misionaris Kristen untuk memberantasnya. Kalau air tawar tidak bisa mereka peroleh, mereka ada kalanya minum air sungai.

Sungai yang menimbulkan banjir di kampung-kampung Waropen punya daya tarik khusus bagi penduduknya. Baik dalam mitologi maupun dalam percakapan sehari-hari, banjir itu menjadi suatu pokok pembicaraan yang disertai semangat para pembicara. Penduduk takut akan banjir yang menimbulkan bencana yang, menurut mitologinya, pernah mengakhiri kehidupan di dunia.

Dengan cara ini, air menjadi suatu unsur yang hidup, yang dihuni monster-monster mitikal dan citra-citra kabur dari imajinasi mereka. Air membawa ikan dan udang, mengantar perahu, tapi ia juga menyembunyikan semua jenis rahasia. Boleh dikatakan pembagian kerja, cara hidup, dan cara berpikir orang Waropen sangat dipengaruhi lingkungan hidupnya.

Perbedaan iklim tidak punya pengaruh yang besar terhadap kebudayaan Waropen. Terdapat sedikit pertanian sehingga tidak menimbulkan masalah besar apakah ada hujan atau tidak. Curah hujan tinggi. Hujan memainkan suatu peranan yang penting dalam perburuan budak di masa lampau karena pihak penyerang lebih menyukai serangan dengan berlindung di balik curah hujan yang lebat sehingga tidak tampak dari jarak tertentu oleh pihak yang diserang.

Informasi sejarah

Orang Waropen punya sedikit benda yang memberi kita informasi tentang hubungan sejarahnya. Kapak Papua yang terkenal itu yang di masa lampau dipakai juga sebagai kapak perang terdapat di sini, berpenampang lonjong atau lentikular (bentuknya mirip lensa), tapi sudah langka.

Mereka juga sejak lama memakai pisau untuk berbagai kegunaan di luar rumah, mata anak panah, dan seruit yang dibuat dari logam. Benda-benda itu berasal dari penduduk Biak yang punya keahlian sebagai pandai besi dan menyebarkan keahliannya keliling Teluk Geelvink. Terdapat juga berbagai jenis manik-manik dan porselin kuno (rewanggu), yang bernilai tinggi karena menjadi kurang lebih alat pertukaran seremonial di seluruh Teluk Geelvink.

Held menduga manik-manik dan porselin kuno itu mencapai pesisir Waropen melalui orang Numfor dan Wandamen. Kedua suku ini berperan sebagai penengah dalam penyebaran barang-barang berharga itu.

Pada pulau keramat Nusariwe di sekitar Napan terdapat beberapa gua atau gua besar yang menurut penduduk setempat menjadi tempat tinggal orang selama masa mitikal atau pra-sejarah. Gua-gua itu terletak beberapa kilometer jauhnya dari pantai, tapi suatu penelitian tidak menemukan sesuatu yang khusus.

Data historis tentang Papua langka dan data itu sesungguhnya bercerita lebih banyak tentang gagasan para pelancong dibanding bercerita tentang orang Papua sendiri. Nama Aropen disebutkan pertama kali oleh Jacob Weyland pada tahun 1705; dia mengadakan pelayaran ke Aropen atas perintah Pemerintah Belanda dengan kapal layar Geelvink, Kraanvogel, dan Nova Guinea. Weyland mencapai ujung paling timur dari Yapen pada tanggal 17 Mei 1705 dan melaporkan suatu pemukiman dekat ujung itu di kawasan “Kaaij”. Di kawasan itu, dia mengambil dua orang pribumi; mereka berdua bertemu empat orang penduduk Yapen, musuhnya, yang sudah ada di kapal itu. Keenam orang itu diserahkan di Batavia (kini Jakarta); tiga orang di antaranya dikirim ke Belanda dan dua kembali tahun 1710 dan menerima hak-hak sipil di pulau Banda, Indonesia bagian Timur masa kini. Tapi cerita ini tidak menjelaskan apakah keenam orang itu berasal dari Yapen atau Waropen.

Weyland kemudian mencapai suatu pemukiman yang dia sebut “Erropang” (Aropen) pada 30 Mei 1705. Penduduk pemukiman itu menunjukkan rasa waswas dan takut kepada orang kulit putih atau orang asing di ketiga kapal yang dipimpin Weyland.

Pendapat orang Belanda tentang penduduk Teluk Geelvink sangat tidak menguntungkan mereka. Mereka dipandang “suatu bangsa yang tidak bisa didekati dan tidak bisa mengikuti perintah, sangat liar dan berhati dengki”. Baik lelaki maupun perempuan secara praktis hampir telanjang dan kemaluannya ditutupi daun-daun pohon. Senjata mereka adalah panah dan anak panah, dan parang besi. Rumah-rumah mereka dibuat dari kayu dan didirikan di atas tanah.

Pada tahun 1710, nama penduduk Waropen disebutkan lagi oleh Claasz, seorang Belanda, dalam suatu memorandumnya tentang keadaan pemerintahan Belanda di sana. Claasz memerikan pengaruh Tidore dan menyebutkan juga suatu pemukiman pesisir bernama Roppon, suatu nama yang bisa mengacu pada kampung Ambumi dekat Sungai Woisimi atau pada kawasan dekat Napan. Dalam kemungkinan acuan Roppon pada Ambumi, maka Ambumi dekat Woisimi sudah punya popularitas di Teluk Geelvink seawal-awalnya pada tahun 1710.

Waropen disebut lagi tahun 1871 ketika Van der Crab, seorang Belanda, berlayar di antaranya dari Ansus ke Yapen tempat tampaknya ada perselisihan di Waropen. Ketika mencapai Wasior di Teluk Wandamen, dia menyebut tempat itu Waropen, suatu penamaan yang keliru. Kampung asal-usul suku Waropen, Ambumi, ada dekat Woisimi; kampung itu terkenal karena berbagai tindak kejahatan.

Tahun 1873, pencinta alam A.B. Meyer melakukan suatu perjalanan yang panjang sepanjang pantai Timur Teluk Geelvink. Kawasan ini disebut “Kai” oleh Meyer dan “Aropen” oleh pelancong lain.

Tahun 1879, timbul lagi permusuhan antara orang Yapen dan Waropen. J. van Oldenborg, seorang Belanda yang menjadi kepala distrik, melakukan suatu perjalanan laut ke Waropen untuk mencegah orang “Aropen” mencuri lambang negara Belanda yang dipasang di sana.

Sejak kunjungan Weyland dan rombongannya tahun 1705, suatu kunjungan sesungguhnya dilakukan untuk pertama kali oleh Oldenborg dan seorang perwira militer Belanda, Letnan-Komandan M. E. Medenbach, ke kawasan Waropen. Mereka sesungguhnya melakukan suatu kunjungan eksplorasi ke kampung Wayunami, Painan, dan Making di Napan tahun 1881.

Tahun 1887, kawasan Waropen dikunjungi lagi dengan kapal Java, kali ini oleh A.G. Ellis dan F.S. A. de Clercq. Mereka menemukan dua belas rumah di Makimi dan sebelas rumah di Weinami, kedua kampung yang menjadi batas paling selatan dari kawasan Waropen. Dari arah Selatan ke Utara, pemukiman lain yang dilaporkan kepada de Clerq mencakup Makimi, Wainami, Waren, Sanggei, Woyu, Pareirori, Nuwoai (atau Kai), Risei, Woti, dan Wapori. Pulau Abere di Kurudu pun dikunjungi kedua penjelajah itu.

Distrik Waropen Kai dikunjungi pertama kali oleh F. S. A. de Clercq tahun 1888. Distrik itu mencakup Ambumi, Napan, Weinami, dan Makimi.

Kontak-kontak pertama penduduk Ambumi dekat Woisimi dengan pemerintah Belanda tidak menyenangkan. Tahun 1889, mereka ikut mendapat hukuman yang dikenakan kepada penduduk Teluk Wandamen.

Pada umumnya, suku-suku Waropen dipandang tidak mampu hidup berdamai dengan suku-suku lain. L. A. Oosterzee, kepala distrik pemerintahan permanen Belanda di Nieuw Guinea bagian Utara, mencatat tahun 1899 bahwa penduduk muara Mamberamo menderita serangan-serangan orang Waropen.

Kemudian, kontak dengan suku Waropen berangsur-angsur menjadi makin sering. Pengaruh pemerintah Belanda mulai efektif di Waropen. Para misionaris Belanda selama beberapa dasawarsa di Yaur, Roon, dan Meoswaar seawal-awalnya pada tahun 1867, menurut dugaan Held, mengunjungi juga Waropen yang sudah di bawah pemerintahan Belanda. Tahun 1906, penduduk Ambumi yang mendapat penyiaran Injil beralih menjadi pemeluk Kristen. Sejak itu, mereka mengadakan lebih banyak kontak dengan pemerintah Belanda yang mengangkat kepala-kepala kampung. Kampung Weinami dan Makimi pun memilih agama Kristen; akan tetapi, Held tidak punya cacatan kapan penduduknya menjadi Kristen.

Seluruh kawasan Waropen Kai sudah dikunjungi selama eksplorasi militer Belanda. Kapten Ten Klooster dan Letnan A.L. Doorman sudah membuat peta semua sungai dan anak sungai kawasan pantai antara Wapoga dan Apauwer sehingga tersedia suatu gambaran yang lengkap tentang delta Sungai Mamberamo dan pesisir Waropen yang, waktu itu, berbahaya karena ancaman bajak-bajak laut.

Orang Waropen dikenal agresif. Kisah-kisah mereka berkali-kali menyebutkan ekspedisi yang bersifat menghukum oleh kapal Pioneer. Suatu catatan harian tahun 1913 mengatakan kampung Nubuai dibakar oleh suatu ekspedisi menghukum tahun 1913. Kemudian, pemerintah Belanda mengangkat kepala-kepala kampung pertama orang Waropen tahun 1918. Sekitar 1926, pemerintah Belanda mendirikan pos pemerintahannya di Demba, dikelola seorang kepala pemerintahan, wakilnya, dan sekelompok polisi bersenjata. Pemerintahan ini perlu menegakkan wibawa karena orang Waropen belum seluruhnya menerima perubahan itu. Tahun 1939, pos pemerintahan Demba dihapus dan dipindahkan ke Waren.

Distrik Waropen Kai masih berbahaya selama beberapa tahun sebelum keamanan dan ketertiban pemerintah Belanda ditegakkan. Sesudah kondisi itu ada, agama Kristen masuk, dimulai di Waren. Tahun 1938, Nubuai dan kampung-kampung di sekitarnya berada juga di bawah pengaruh pemerintah Belanda. Sebagai akibatnya, seluruh suku Waropen beralih menjadi pemeluk Kristen.

Peralihan ke agama Kristen ini menjadi batas penelitian antropologis Dr. G. J. Held. Dengan kata lain, penelitiannya dibatasi pada masa pra-Kristen suku Waropen. Tanpa pembatasan ini, Held akan membahas situasi suku Waropen yang menjadi Kristen waktu itu dan, sebagai akibatnya, akan membahas sejarah kontemporer. Pembahasan macam ini akan melibatkan pekerjaan para misionaris Belanda pada suatu ruang lingkup yang sangat besar. Jadi, pertimbangan utama dari pembatasan ini bersifat murni metodikal.

Jumlah dan penampilan lahiriah orang Waropen

Menjelang tahun 1940, seluruh penduduk Waropen tinggal pada lima belas kampung. Di kawasan Waropen, mereka tinggal di sebelas kampung: Sasora, Demba, Wonti, Risei, Saiati, Woinui, Nubuai, Mambui, Paradoi, Sanggei, dan Waropen. Di kawasan Waropen Kai, mereka tinggal di empat kampung: Napan, Weinami, Makimi, dan Ambumi.

Held mencatat dua puluh dua nama fam (klen) yang tinggal pada kesebelas kampung dari seluruh Waropen. Ada klen Fafa, Ghairo, Wanda, Kai, Bunggu, Womorisi, Wainarisi, Imbiri, Daimboa, Apeinawo, Nuwuri, Pedei, Sawaki, Ghopari, Ghama, Tao, Sirami, Watofa, Satia, Sawai, Papirandei, dan Wairoi. Akan tetapi, dia tidak memberikan nama-nama fam yang tinggal di Waropen Kai.

Sensus seluruh penduduk Waropen diadakan dua kali dalam dasawarsa 1930-an. Sensus 1930 menunjukkan bahwa seluruh penduduk Waropen berjumlah 6.678 orang, terdiri dari 3.240 lelaki dan 3.438 wanita. Sensus 1937 mencatat jumlah total penduduk sebanyak 6.173 orang, terdiri dari 3.066 lelaki dan 3.107 wanita.

Ringkasan data statistik itu menunjukaan ada penurunan jumlah penduduk sebesar 505 orang dalam kurun tujuh tahun. Held menduga selisih itu disebabkan kesalahan perhitungan atau jumlah lebih dari 500 orang itu pindah ke luar Waropen.

Tentang penampilan lahiriah orang Waropen, Dr. G. J. Held tidak memerikan hasil penelitian antropologis. Dia hanya memerikan pernyataan-pernyataan yang dangkal.

Kebanyakan orang dewasa punya ukuran tubuh rata-rata. Jarang ditemukan orang bule (albino) dan mereka yang sangat pendek atau sangat tinggi.

Pada umumnya, ukuran tubuh wanita Waropen tidak kecil atau besar. Mereka cukup cantik.

Lelaki lebih tua yang berkumis mencabut sebagian besar kumisnya tapi sewaktu-waktu membiarkan tumbuh seberkas kecil kumisnya di sudut mulut. Wanita menghilangkan bulu rambut di tubuh dari ketiaknya. Anak lelaki yang tengah bertumbuh sering menggerinda ujung gigi bagian atas agar menjadi rata. Baik lelaki maupun wanita melubangi sekat hidung dan telinganya.

Selama masa remaja, gadis-gadis menjalani rajahan di dada, kaki, tangan, dan wajah. Pola rajahan yang dibentuk di tubuhnya diberi warna hitam. Tapi tidak ada pemaknaan dari tanda-tanda rajahan yang dibuat.

Rajahan lelaki tidak semenyolok yang ada pada wanita. Yang diamati Held adalah rajahan lelaki dari namanya pada dada atau tangannya. Sewaktu-waktu, mereka menjalani rajahan di wajahnya. Tanda-tanda rajahan lelaki itu sekadar hiasan pada tubuhnya. Lelaki muda sering menjalani rajahan ketika mereka akan bepergian jauh dengan perahu besar, seperti pergi bekerja di perkebunan atau menuju tempat lain di luar kampungnya.

Wanita muda mempercantik dirinya dengan selalu menyisir rambutnya secara teliti dengan sebuah sisir bambu. Mereka menyebarkan bulu-bulu burung merpati kecil pada rambutnya yang tampak kribo. Wanita muda lain menusuk tangkai bunga kembang sepatu merah di rambutnya. Sewaktu-waktu, mereka membasuh rambutnya dengan jus limau dan menggosoknya dengan minyak kelapa.

Jarang terdapat lelaki dewasa yang botak. Menurut kepercayaan populer, kebotakan lelaki disebabkan kegemaran seksual yang berlebihan. Sebagai akibatnya, sindiran tentang kebotakan bisa menimbulkan rasa tersinggung yang besar dan mudah menjurus pada pertengkaran yang keras.

Meskipun tidak serinci wanita, lelaki muda pun memberi perhatian pada perawatan rambutnya. Kebanyakan lelaki muda berambut pendek.

Orang Waropen Kristen suka penampilan lahiriahnya berbeda dengan yang belum Kristen. Mereka tidak berambut sangat ikal dan tidak memakai sisir bambu. Anak-anak berusia sekolah digunting rambutnya menjadi pendek.

Kebersihan tubuh orang Waropen memuaskan. Orang Kristen Waropen dengan sengaja mandi secara teratur, tapi mereka yang tidak Kristen pun membersihkan tubuhnya dengan air, termasuk air hujan yang deras. Orang Kristen belajar juga mencuci dan menjemur pakaiannya; kebiasaan mencuci pakaian tampak juga di antara banyak keluarga Waropen.

Di masa lampau, pakaian terbatas pada sehelai kulit pisang kering, dibentangkan di antara kedua kaki dan ditahan dengan sepotong tali yang diikat keliling pinggul. Kaum muda Waropen non-Kristen yang diketahui Held memakai kain sarung yang ditahan oleh sabuk kulit keliling pinggulnya. Sarung dipakai juga sebagai selimut ketika mereka tidur atau kedinginan. Orang Kristen Waropen menggantikan sarung dengan pakaian gaya Eropa. Anak-anak sekolah biasanya memakai celana pendek berwarna gelap atau bergaris-garis dan kemeja.

Hampir semua lelaki memakai gelang tangan yang dibuat dari akar bahar. Beberapa di antaranya memakai juga gelang tangan bernilai tinggi yang dibuat dari sejenis perak.

Laporan Weyland tahun 1705 mengatakan baik lelaki maupun wanita memakai daun-daun pohon sebagai pakaian seadanya. Kostum wanita yang diketahui Held biasanya cawat yang bergantung di depan sebatas lutut, seperti rok kerja atau celemek. Kebanyakan wanita, terutama yang lebih tua, memakai kain katun berwarna biru; gadis-gadis memakai kain katun berwarna merah, khusus untuk pesta. Untuk pesta, wanita-wanita muda menata rambutnya sampai tampak kribo, memakai kalung di leher, dan serangkaian gelang berwarna putih di lengan atas dan bawah kedua tangannya. Kain berwarna dengan pola rajutan atau tenunan tertentu dari bawah pusar sampai dengan bagian bawah kaki menjadi pakaiannya untuk pesta; bagian pusar ke atas dibiarkan terbuka.

Kesan umum tentang perilaku orang Waropen

Held melakukan penelitiannya tentang penduduk Waropen dari sisi antropologi-budaya. Sementara itu, perilaku manusia lebih cocok diteliti dari sisi psikologi individual. Tapi penelitian perilaku orang Waropen dari sudut ilmu jiwa individual berada di luar jangkauan penelitian Held. Jadi, yang dia lakukan adalah mendaftarkan beberapa kesan umumnya tentang perilaku mereka. Dia menyadari kekurangan dari pendekatan macam ini, di antaranya, penerapan reaksi pribadinya sebagai seorang Eropa dari Belanda kepada orang yang hidup dalam suatu kebudayaan yang sangat berbeda dengan kebudayaannya.

Kesan-kesan umum Dr. G. J. Held tentang perilaku orang Waropen (non-Kristen) diringkaskan demikian:

1. Kebanyakan orang Waropen tidak menunjukkan emosi yang sangat dalam. Rasa terharunya, karena itu, dangkal. Ketika ada suatu sebab yang langsung, reaksi yang timbul terkadang bersifat mendadak. Misalnya, ketika seorang lelaki akan berangkat untuk bekerja sebagai seorang buruh kontrak dengan menumpang sebuah kapal uap, ibunya yang ditinggalkan mula-mula menanggapi keberangkatannya secara singkat. Ketika kapal mulai berangkat, ibunya meratapi kepergian puteranya, seakan-akan dia tidak akan kembali lagi.

2. Dalam kemarahan mendadak, orang terkadang saling menganiaya. Tapi ketika ada suatu jarak waktu tertentu antara rangsangan dan reaksi (misalnya, ketika selama suatu pertengkaran salah satu pihak harus berdayung mencari lawannya), keberangan yang ditunjukkan terkesan dangkal. Kedangkalan rasa berang itu mengakibatkan mereka yang terpengaruh melakukan ancaman berbahaya dengan senjata, memotong tiang-tiang rumah, dan meneriakkan kata-kata sumpah-serapah secara singkat.

3. Sangat jarang orang Waropen yang terlibat pertengkaran mengungkapkan emosinya secara tidak terkendali. Held menyaksikan seorang menantu lelaki yang bertengkar dengan mertua perempuannya tampak akan membelah kepala wanita itu dengan sebuah dayung. Mengira lelaki itu akan benar-benar melukai kepala wanita itu, dia meminta putera wanita itu untuk memisahkan mereka berdua. Tapi putera itu mengatakan kedua orang yang bertengkar itu berhubungan keluarga sebagai mertua dan menantu; jadi, lelaki itu tidak akan membelah kepala wanita itu dengan dayungnya.

4. Selama pertengkaran antara suami dan isteri, biasanya wanitalah yang membuat keributan yang hebat. Sebuah potong barang tembikar dilemparkan menjadi hancur berantakan dalam keberangan yang meluap-luap; potongan-potongan barang tembikar lain terbang ke luar rumah; dinding kamar suami-isteri ditendang sampai terbuka; atap daun sagu disobek-sobek.

5. Tatakrama menuntut ketenangan yang lebih besar dari lelaki dibanding wanita. Seorang lelaki akan mencoba menyembunyikan emosinya sebaik-baiknya. Ketika Dr. Held berbicara tentang hasil sains dan teknologi Barat seperti pesawat terbang, lelaki Waropen yang mendengarkannya menunjukkan rentang perhatian yang singkat. Meskipun demikian, minatnya ternyata dibangkitkan untuk topik pembicaraan yang lain.

6. Wanita kurang memerhatikan penampilan lahiriahnya dengan menjaga wibawa seperti yang ditunjukkan laki-laki. Di depan umum, para wanita yang bertemu jauh lebih hidup dari lelaki, dan selama pertengkaran suara melengking wanita terdengar mendominasi suara lelaki.

7. Wanita berkeluarga yang lebih tua berani melakukan pertengkaran yang lebih sengit dibanding wanita yang lebih muda. Dalam pertengkaran, wanita yang lebih muda cepat menangis.

8. Sangat sering, cara-cara tertentu perilaku orang Waropen dijelaskan tidak oleh kecenderungan individual tapi oleh aturan berperilaku dalam masyarakat (social code). Pada umumnya, orang Waropen sangat tidak menyukai darah yang mengalir, misalnya, dari luka orang. Untuk menghentikan aliran darah, luka itu harus diobati sampai sembuh.

9. Ungkapan rasa terima kasih, seperti yang dipahami dalam kebudayaan orang Belanda atau orang Barat pada umumnya, tidak ditemukan di antara orang Waropen yang memperoleh gengsinya melalui pemberian barang. Hadiah seorang pemberi diterima pihak kedua tanpa mengucapkan rasa terima kasih. Ini tidak berarti pihak penerima tidak punya rasa menghargai kepada pemberi. Dalam adat orang Waropen, pemberi boleh mengatakan secara terus-terang apa yang ingin dia terima sebagai ganti barang yang diberikannya, dan penerima mana pun tidak akan mennganggap perilaku ini sebagai tidak pantas.

10. Kedangkalan emosi orang Waropen diikuti aktivitas yang agak besar. Mereka biasanya sibuk mengerjakan bermacam-macam pekerjaan. Tapi mereka sering kekurangan ketekunan yang kuat untuk menyelesaikan pekerjaannya begitu pekerjaan itu dimulai.

11. Suatu gejala yang barangkali terkait dengan gambaran umum tentang kedangkalan emosionalitas dan kegiatan ini ialah timbul-tenggelamnya rentang perhatian yang menimbulkan naik-turunnya perhatian. Perilaku ini berkali-kali terjadi selama suatu penyelidikan Held yang, tanpa alasan yang bisa dipahami, menunjukkan hilangnya secara tiba-tiba minat pada suatu pokok yang dibicarakan.

12. Suatu gejala lain yang berkaitan dengan ciri-ciri budaya adalah kekurangan keahlian orang Waropen. Para lelaki yang membuat alat-alat untuk memproses sagu, seperti penokok sagu, secara ceroboh mengukir motif-motif yang berulang-ulang. Para wanita memakai teknik yang primitif untuk membuat keranjang. Pada umumnya, mereka tidak punya banyak keahlian teknis.

13. Pengamatan orang Waropen tajam untuk kehidupan sehari-hari tapi menjadi membingungkan ketika mereka dihadapkan kepada rangsangan yang asing atau yang belum pernah mereka jumpai sebelumnya. Misalnya, mereka mampu mendeteksi kehadiran ikan melalui gerakannya yang paling kecil di air dan tahu, sering melalui intuisi, jenis dan ukuran ikan itu. Sebaliknya, mereka kesulitan memahami selembar foto kalau ukurannya tidak besar. Foto itu dipelajari dari semua sudut sampai mereka benar-benar melihat apa yang ada di foto itu.

14. Dalam pergaulan sehari-hari, orang Waropen berterus-terang tanpa menjadi lancang. Hanya anak-anak yang sewaktu-waktu bertindak melampaui batas yang pantas dan mereka sering keras kepala. Akan tetapi, mereka jarang jahat dan tidak mengganggu orang lain dengan kenakalan. Seorang anak yang dipukul orang yang lebih dewasa akan balas memukul. Orang dewasa tidak suka anak-anak menangis, tapi mereka jarang membentuk penguasaan diri ini melalui pendidikan yang disengaja. Meskipun demikian, anak-anak pada usia agak dini sudah tahu bagaimana berperilaku. Misalnya, gadis-gadis kecil kurang waktu untuk bermain-main di luar dibanding anak-anak lelaki karena mereka harus menjaga adik-adiknya dan menolong ibu-ibu dengan pekerjaannya.

15. Tentang batas usia, orang Waropen mengenal waribo, semua lelaki yang bukan anak atau orang tua, dan wiama, semua wanita muda, termasuk gadis-gadis yang lebih muda dan wanita berkeluarga yang muda. Waribo berusia antara 15 dan 35 tahun sementara wiama berusia antara 10 dan 25 tahun. Tampak bahwa wanita lebih cepat matang dibanding lelaki.

16. Semua kelompok usia ini mengikuti tatakrama sosialnya sendiri, yang tidak berlaku ketat bagi anak-anak muda.

17. Sulit menetapkan suatu aturan seragam bagi semua orang Waropen. Apa yang diterima satu orang tidak disetujui orang lain. Ketika seorang lelaki buang air kecil, sekalipun itu dekat dengan wanita, orang tidak akan berkeberatan. Tapi orang tidak boleh buang angin atau buang air besar di depan umum. Wanita melepaskan hajatnya secara sembunyi-sembunyi. Setiap orang boleh meludah atau batuk atau bersin atau menguap semau-maunya, asal dia tidak mengganggu orang lain. Sedakan bisa menimbulkan sedikit keberatan sementara muntah menertawakan. Makan dengan kunyahan bersuara dipandang tidak santun.

18. Orang tua dihormati. Orang masih menerima suatu pernyataan seorang lelaki tua yang berpengaruh. Pernyataan seorang gadis muda tidak ditanggapi serius sementara anak-anak sama sekali diabaikan. Tapi selebihnya, orang Waropen berlaku hati-hati dan sopan di antara mereka dalam pergaulan sehari-hari.

Kehidupan kampung

Dinilai dari bentuk luarnya, peradaban di Teluk Geelvink pasti miskin dan monoton. Ia menimbulkan suatu kesan yang berbeda sekali dengan peradaban, misalnya, dari suku Marind- Anim di Nieuw Guinea Belanda bagian Selatan.

Kesan yang sama berlaku juga bagi kebudayaan Waropen. Penampilan luar orang Waropen sangat tidak romantik. Pada tubuhnya, tidak terdapat dandanan yang fantastik dan rancangan gambar-tubuh yang rumit. Tidak ada pesta yang fantastik dan rumah mengesankan untuk upacara religius. Sedikit sekali ada kehidupan yang sibuk dan kegairahan.

Selain penampakan luar, gambaran dunia batin masyarakat Waropen pun memberi kesan yang sama. Lapisan masyarakat dengan kedudukan lebih tinggi hampir tidak berbeda dengan rakyat biasa. Dalam upacara religius, benda-benda adialami sepintas lalu tampak tidak berbeda dengan benda-benda biasa; perlu waktu untuk menemukan perbedaannya. Dalam mitos yang ditarikan, tokoh-tokoh mitikal hampir tidak muncul. Jelas, orang menari dan menyanyi tanpa memahami sama sekali mitos yang mereka nyanyikan itu. Topeng tidak dikenal masyarakat Waropen.

Orang Waropen menunjukkan emosi religius yang rendah. Ini menjelaskan kehidupan kampung yang sangat menjemukan dan biasa.

Ciri-ciri yang sama dalam kebudayaan Melanesia yang lain masih ditemukan dalam kebudayaan Waropen. Salah satu adalah upacara inisiasi.

Kehidupan kampung di Waropen tidak melulu tenang dan menjemukan. Ada juga sedikit variasi dalam kehidupan orang Waropen. Mereka, misalnya, lebih riang dan gembira dibanding orang Biak. Di kampung-kampungnya, ada tawa yang sering dan berderai. Umumnya, rasa murung bukan suatu ciri mereka.

Iklim di Waropen tidak menunjukkan suatu perbedaan yang jelas antara musim-musim. Kecil variasi kerja orang Waropen.

Terkadang monotoni kehidupan kampung Waropen diselingi suatu pesta, terutama di kampung-kampung yang besar. Maka tabuhan tifa dan nyanyian para penari lelaki dan wanita berkumandang selama berhari-hari. Para peserta pesta itu berperilaku jauh lebih bebas dari perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.

Orang Waropen suka melakukan pelayaran yang jauh. Tapi mereka bukan penjelajah yang berani, yang mencari bahaya demi bahaya itu sendiri. Mereka lebih suka akan pelayaran di laut yang tenang untuk mengunjungi seorang kerabat yang tinggal tidak terlalu jauh dari kampungnya.

Dengan cara demikian, kehidupan sehari-hari penduduk Waropen tenang, tanpa emosi yang berlebihan. Tidak ada wabah, tidak ada orang asing yang berhasil mengganggu rasa damai mereka secara mendalam. “Reaksi jangka panjang apakah yang akan timbul ketika terjadi kontak intensif yang makin meningkat di Barat adalah suatu pertanyaan yang akan dijawab oleh masa depan.”

0 komentar: